Komunikasi itu Ada Seninya Kuasai Cara Sukses Berkomunikasi
Masukkan Password
TAK PERLU BERTENGKAR, “KITA BISA MENGATASI SEMUANYA DENGAN BERBICARA SAMBIL TERSENYUM”
“Banyak yang ingin saya katakan, tapi saya tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.”
“Saya kerap kali tidak mampu berbicara karena takut orang lain tidak senang.”
“Saya tidak bisa mengungkapkan apa yang saya inginkan dengan baik.”
Ada banyak orang yang khawatir dengan apa yang hendak mereka katakan. Ini dikarenakan ucapan/perkataan memiliki pengaruh yang sangat besar, baik dalam bisnis maupun kehi dupan sehari-hari. Kalimat yang sama bisa disampaikan secara berbeda, tergantung pada situasi dan suasana hati. Kita bisa tiba-tiba marah karena celetukan seseorang, dan terkadang kata-kata yang kita lontarkan secara tidak disengaja dapat melukai orang lain, banyak ataupun sedikit.
Bayangkan ketika Anda melihat harapan orang lain terha dap kita. Bisakah Anda mengatakan “Tidak” di depannya? Bagaimana jika ini terjadi dalam hubungan hierarkis? Lebih sulit untuk mengatakanapa yang harus dikatakan jika kita ber ada dalam hubungan berjarak yang nyata, seperti atasan dan bawahan, kontraktor dan subkontraktor, atau orangtua dan anak. Akibatnya, ucapan dan hati menjadi tidak selaras. Terjadi gesekan dalam hubungan interpersonal, yang bertentangan de ngan kehendak kita.
“Saya tidak bisa berkata sepatah kata pun dengan nyaman.”
Seseorang mengeluh bahwa hatinya merasa kecut setiap kali berbicara adalah hal yang nyata, bukan berlebihan.
Namun, ada juga orang yang tidak demikian di sekitar Anda. Mereka bisa berbicara sambil tertawa. Akibatnya, mereka bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan memiliki hubungan yang baik. Mereka tampaknya tidak mengalami kesulitan dalam berkata-kata dan juga tidak khawatir dengan hubungan mereka. Apakah itu bakat? Apakah semua orang yang ekstrover seperti ini?
Saya penasaran dengan rahasia apa yang mereka miliki. Saya mengajar lebih dari 200 kali dalam setahun, berurusan dengan para wirausahawan, memberikan pelatihan psikologi, dan hadir dalam acara siaran radio/televisi, sehingga saya bisa mengamati orang-orang yang sangat beraneka ragam. Subjek yang saya amati adalah para pengajar, penjual/sales, presenter, pembawa acara, pebisnis, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, dan kaum muda. Hasilnya, saya mendapati bahwa cara komunikasi yang efektif adalah berdasarkan psikologi.
Psikologi tidak pernah melebih-lebihkan. Psikologi hanya berbicara tentang realitas yang mungkin. Cara komunikasi yang berlandaskan psikologi, 100% akan memikat lawan bicara. Anda dapat menggerakkan lawan bicara sesuai ketulusan dan niat Anda. Jadi, Anda tidak lagi perlu khawatir tidak bisa berbicara dengan lancar atau untuk mengatakan yang sebenarnya; hubungan interpersonal pun berjalan dengan damai tanpa ada keluhan.
Anda pasti pernah secara ajaib mengikuti keinginan seseorang ketika berbicara dengannya. Meskipun demikian, Anda tidak merasa ingin menolaknya dan malah merasa akrab. Bisa jadi itu karena ia memanfaatkan metode komunikasi yang berdasarkan psikologi. Jika keenam pertanyaan berikut ini muncul di benak Anda, bisa dibilang itu adalah komunikasi psikologis.
- Mengapa aku mudah tertarik dengan apa yang dibicarakan nya?
- Mengapa aku mudah terbujuk oleh kata-katanya?
- Mengapa obrolannya bisa mencairkan hubungan yang kaku?
- Mengapa gaya bicaranya bisa merayu dan menarik respons?
- Mengapa kata-katanya bisa membuatku membuka dompet?
- Mengapa obrolannya bisa meningkatkan efisiensi dan hasil?
Bagaimana jika Anda memanfaatkan metode komunikasi psikologis ini sendiri? Anda tidak perlu lagi khawatir untuk berbicara dan soal hubungan interpersonal. Bukankah hidup Anda menjadi lancar sesuai keinginan jika Anda bisa selalu berbicara sambil tertawa?
Buku ini mencakup soal teknik komunikasi psikologis dalam kehidupan sehari-hari, yaitu teknik komunikasi psikologis untuk memulihkan hubungan, membujuk dan mendapatkan respons, komunikasi dengan kekasih, untuk membuka dompet, serta untuk meningkatkan efisiensi dan hasil. Saya berharap 43 teknik komunikasi psikologis ini dapat Anda kuasai dan bermanfaat baik untuk para pembicara maupun pendengar.
Bakar Komunikasi Psikologis
Oh Su Hyang
BAB 1
TEKNIK KOMUNIKASI PSIKOLOGIS UNTUK MENYENANGKAN ORANG LAIN
“Ubah susunan ucapan.”
Menarik Lawan Bicara Dalam 3 Detik Lewat Kesan Pertama Primacy Effect
“Kenapa pilih orang itu?” “Kenapa, ya? Kesan pertamanya bagus saja. Kalau persyaratan lainnya sama, yang terpilih pasti yang kesannya bagus.”
Ada orang-orang yang membuat nyaman dan menarik saat pertama kali bertemu. Belakangan dikenal istilah “freepass wawancara” untuk orang-orang seperti ini. Kesan pertama sangatlah penting, terutama dalam kehidupan sosial. Contoh paling umum adalah saat wawancara kerja.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa “75% penanggung jawab personalia perusahaan dipengaruhi oleh penampilan pada saat merekrut karyawan baru”. Mereka mengambil keputusan dalam waktu singkat berdasarkan sikap, perilaku, ekspresi wajah, dan penampilan pelamar kerja. Temuan yang lebih penting lagi adalah 85,5% penanggung jawab personalia “dikendalikan oleh kesan pertama pelamar hingga wawancara selesai”.
Di Korea Selatan sendiri, waktu untuk menentukan kesan pertama sangatlah singkat. Dibandingkan dengan orang Amerika yang membutuhkan 15 detik dan orang Jepang yang memerlukan 6 detik, orang Korea Selatan butuh waktu 3 detik saja. Hukum 3 detik. Dari sini dapat diketahui bahwa orang Korea Selatan sangat mementingkan kesan pertama saat bertemu dengan seseorang. Dampak Kepelitan Kognitif (Cognitive Miser Effect) berpengaruh besar dalam menilai lawan bicara, yakni ingin memperoleh keputusan secara cepat dengan sedikit usaha.
Kesan yang baik tidak hadir begitu saja. Coba perhatikan. Orang yang seperti ini memikirkan secara mendalam agar dapat memperoleh perhatian lawan bicara. Tidak hanya dari riasan wajah, tatanan rambut, dan pakaian, tetapi juga ekspresi wajah yang ramah dan tingkah laku yang halus. Artinya, cantik atau tampan saja tidak cukup. Meskipun tidak memiliki paras yang menawan, kita tetap bisa memberikan kesan yang baik dengan gaya yang sesuai dengan diri kita.
Tentu akan ada orang yang bertanya seperti ini.
“Saya sudah berusaha keras menata penampilan dan style saya. Tapi rasanya tetap saja kurang. Apa lagi yang yang harus saya lakukan?”
Ada satu hal yang bisa Anda lakukan, yaitu memberikan kesan pertama melalui percakapan. Hal ini bisa dijelaskan dengan “Efek Primer (Primacy Effect)”. Informasi atau kesan yang ditampilkan pertama kali lebih berpengaruh besar terhadap memori daripada yang ditampilkan kemudian. Solomon Asch, psikolog sosial dari Amerika, pernah menguji efek ini dengan memberikan informasi berikut tentang dua orang kepada para responden.
A : pintar, rajin, impulsif, kritis, keras kepala, mudah iri B : mudah iri, keras kepala, kritis, impulsif, rajin, pintar
Bagaimana hasilnya? Informasi tentang keduanya sama saja, hanya berbeda urutan. Tetapi reaksi para responden di luar dugaan. Mereka lebih senang dengan si A daripada si B. Efek Primer yang diberikan A adalah informasi positif berupa “pintar” dan “rajin”, sedangkan Efek Primer yang diberikan B adalah informasi negatif berupa “mudah iri” dan “keras kepala”. Sedemikian berbeda hasilnya hanya karena urutan penyampaiannya berbeda!
Lalu bagaimana sebaiknya kita memperkenalkan diri kepada lawan bicara agar mereka tertarik?
“Saya memiliki kemampuan perencanaan dan eksekusi yang bagus. Sedikit tidak bisa diam, tapi saya sedang berusaha mengatasinya.”
“Kata orang, saya sedikit tidak bisa diam. Tetapi saya mempunyai kemampuan perencanaan dan eksekusi yang bagus.”
Bagaimana? Meskipun berbeda tipis, perkenalan yang pertama lebih terkesan positif dan kuat, bukan? Efek Primer memberikan dampak yang kuat dan tahan lama seperti sebuah beton. Oleh karena itu, ungkapkan kelebihan dan daya tarik diri yang ingin ditonjolkan di bagian awal. Di saat seperti ini, kita singkirkan sementara sikap rendah hati yang tidak bergizi.
Tiga hal yang biasanya menentukan kesan pertama adalah “penampilan, suara, dan kosakata”. Sebagaimana kita memperhatikan penampilan untuk kesan pertama, mulailah memperhatikan kesan pertama dalam komunikasi.
“Halo. Senang bertemu dengan Anda!”
Salam pertama dengan suara yang bertenaga.
“Saya pernah mencapai target penjualan hingga 120%.
Keuntungan perusahaan mencapai 80%.”
Mulai dengan hal yang dikuasai dengan baik.
Ingatlah Efek Primer. Perasaan menyeluruh tentang seseorang dari pertemuan pertama tidak akan hilang dengan mudah. Mainkan trik menyebutkan kelebihan dan daya tarik diri di awal saat bertemu seseorang dalam hubungan bisnis, agar bisa diingat dengan lama.
“Ulurkan tangan saat menginginkan sesuatu.”
Sentuhan Positif yang Membuat Mengangguk Handshake Effect
“Perbanyaklah berjabat tangan jika ingin meraih kepercayaan dalam komunikasi.”
Itu adalah tip yang saya berikan kepada orang-orang yang bertanya tentang teknik komunikasi. Orang Korea Selatan cenderung memisahkan komunikasi dengan berjabat tangan. Oleh karena itu, mereka jarang berjabat tangan saat berkomunikasi dengan seseorang. Padahal, jika hal ini dimanfaatkan dengan baik, komunikasi akan lebih maksimal.
Jabat tangan tidak hanya dilakukan saat pertama kali bertemu seseorang. Semakin dipraktikkan dengan tepat dalam keseharian, maka akan terlihat hasil yang bagus. Apa maksudnya? Perhatikan contoh berikut. Situasinya adalah, seorang pengelola apartemen harus meminta kerja sama dari para penghuni untuk memilah sampah.
Pengelola A berkata tanpa menjabat tangan para penghuni apartemen.
“Mohon bantuannya untuk memilah sampah demi kenyamanan lingkungan apartemen.”
Pengelola B menjabat tangan para penghuni terlebih dulu sebelum menyampaikan maksudnya.
“Mohon bantuannya untuk memilah sampah. Supaya lingkungan apartemen kita lebih baik.”
Isi kalimatnya sama. Tetapi apakah hasilnya sama? Pengelola B yang menjabat tangan terlebih dulu jauh lebih direspons dengan baik. Sementara pengelola A kemungkinan besar gagal memperoleh kerja sama dari para penghuni apartemen.
Pernahkah Anda mendengar istilah “Efek Jabat Tangan (Handshake Effect)”? Prof. Francesca Gino dari Harvard Business School pernah melakukan eksperimen negosiasi dengan para mahasiswa MBA. la membentuk dua tim yang masing-masing terdiri atas pembeli dan penjual properti. Satu tim melakukan negosiasi setelah berjabat tangan, sedangkan tim lainnya melakukan negosiasi tanpa berjabat tangan lebih dulu. Hasilnya cukup menarik. Tim pertama memperoleh informasi dan pembagian keuntungan dengan lebih wajar dan baik.
Begitu pula hasilnya dalam eksperimen antara pencari kerja dan pemberi kerja. Tim yang berjabat tangan, lebih berusaha untuk mencapai kesepakatan dalam hal upah, bonus, dan waktu mulai kerja.
Efek Jabat Tangan dapat dipergunakan dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Prof. Gino menyarankan efek ini terutama digunakan dalam mendidik anak.
“Meminta anak yang bertengkar karena hal sepele untuk berdamai dengan cara bersalaman akan berdampak lebih, ketimbang menyuruh mereka sekadar meminta maaf. Terdapat alasan ilmiah di sini. Bersalaman memiliki efek yang membuat kita menghormati pihak lain.”
Belakangan ini konflik antartetangga (di lingkungan apartemen, penerj.) karena masalah suara kian memburuk. Terlebih jika mereka tidak saling mengenal. Oleh karena itu, saya selalu mengajak anak-anak untuk memberi salam kepada penghuni lantai bawah sambil membawakan hadiah kecil. Di saat seperti ini pun, bersalaman terlebih dulu sebelum membuka percakapan akan membuat kita jauh lebih mudah mendapatkan hati orang tersebut.
Demikian juga di tempat kerja. Seorang atasan sebaiknya menjabat tangan karyawan baru dengan hangat saat memintanya untuk bekerja keras, daripada sekadar menyampaikan kalimat-kalimat normatif. Begitu juga saat bertemu dengan utusan rekan bisnis. Terburu-buru mengungkapkan kebutuhan diri hanya akan menonjolkan kekurangan diri. Alangkah lebih baik bila memulainya dengan bersalaman secara wajar, lalu membahasnya satu per satu.
“Mari bersalaman dengan tangan kiri. Sebab bagian itu lebih dekat dengan jantung saya,” kata Jimmy Hendrix. Sementara Perdana Menteri wanita pertama India, Indira Gandhi juga pernah berkata, “Kita tidak bisa bersalaman dengan tangan terkepal.” Perhatikan bahwa pintu hati akan terbuka saat kita berjabat tangan.
“Kenapa dia bisa mendapat tip tiga kali lipat?”
Daya Persuasi Senyuman Smile Effect
“Kita baru pertama bertemu, tapi saya bisa percaya kepada Anda.”
“Entah kenapa, suka saja.”
“Aku tidak punya perasaan apa-apa terhadapnya…”
Ada orang yang mampu menunjukkan daya tarik dan memikat orang lain, bahkan sebelum mengobrol sepatah kata pun, dan ada pula yang tidak bisa. Apa bedanya? Dari mana datangnya daya tarik yang menawan orang lain dalam hitungan detik? Senyuman.
Wajah yang tersenyum cerah lebih efektif daripada ucapan yang berbaris-baris. Senyum yang indah tidak hanya membuat wajah terlihat cantik, tetapi juga memberikan kesan pertama yang baik pada lawan bicara Anda.
“Bukankah itu sudah umum?”
Mungkin ada yang bertanya demikian. Umum, tetapi tidak umum. Banyak orang sering mendengar ini, tetapi jarang yang benar-benar menyadari dan mempraktikkannya.
Saya sering bertemu banyak orang dari berbagai bidang. Biasanya saya bertemu tanpa tahu siapa mereka, dan banyak
juga yang meninggalkan kursi dengan cepat karena dikejar waktu. Jadi, saya selalu ingat untuk tersenyum.
“Mari tunjukkan senyum setulus mungkin kepada orang yang mengenalku. Mari cerahkan hatinya dengan senyuman itu.”
Saat mengajar, pada dasarnya Anda harus menyiapkan materi dengan sepenuh hati dan menyampaikannya dengan cara yang menarik dan penuh semangat. Namun, itu saja tidak cukup. Butuh lebih daripada itu. Senyum adalah kunci untuk membuat para siswa merasa senang dan memberikan penilaian yang baik setelah kelas berakhir. Saya juga berusaha untuk tetap tersenyum saat sedang mengajar. Suasana perkuliahan menjadi lebih baik dan saya pun bisa menyampaikan materi dengan lebih lancar sehingga reaksi para siswa juga tidak buruk.
Waktunya menilai presentasi mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa menyiapkan materi dengan baik dan lancar dalam memaparkan. Namun, ada yang kurang dalam penyampaian mereka. Sebagian besar berwajah kaku. Tentu saja itu karena mereka gugup, tetapi juga lebih karena mereka tidak pernah berlatih untuk tersenyum. Di antara mereka, ada seorang mahasiswi yang terlihat sangat mencolok.
la sudah berbeda sejak kemunculannya, la naik ke atas panggung dengan tersenyum cerah. Para penguji yang melihatnya pun ikut tersenyum, seolah-olah mereka telah tertular. Isi paparannya pun berbobot dan pemaparannya berlangsung lancar. Akhirnya, dialah yang mendapatkan juara pertama. Hasil yang sudah bisa ditebak.
Sesungguhnya senyum memiliki daya tarik yang kuat terhadap orang lain. Ini karena “Efek Senyuman (Smile Effect)”.
Menurut staf peneliti Prof. Aguinis dari University of Colorado, senyum dapat meningkatkan daya persuasi ucapan. Para peneliti menunjukkan cuplikan video orang yang merayu dengan senyum manis dan video orang yang merayu dengan ekspresi tegang kepada para mahasiswa. Para mahasiswa bereaksi seperti ini terhadap video orang yang merayu dengan senyum manis.
“Orang ini lebih meyakinkan.”
“Ucapan orang ini bisa dipercaya.”
Percobaan yang dilakukan oleh Tead K.L dan Lockcard J. S menunjukkan hal ini dengan baik. Mereka melihat efek senyuman pada pelanggan yang memesan minuman di bar. Para staf diminta untuk tersenyum saat menyajikan minuman kepada pelanggan. Satu kelompok tersenyum tipis dan kelompok lain tersenyum cerah hingga memperlihatkan gigi. Tidak ada interaksi lainnya. Bagaimana tanggapan pelanggan?
Mereka mengukurnya dari jumlah tip yang diberikan setelah sang pelanggan pergi dan hasilnya signifikan. Karyawan yang tersenyum cerah menerima tip tiga kali lebih banyak daripada karyawan lainnya.
Ketika Anda ingin meminta tolong kepada seseorang, pasanglah mimik muka serius dan cobalah untuk tersenyum. Bukan berarti Anda harus tersenyum setiap saat. Meskipun senyum adalah alat untuk menarik orang lain, tetap harus digunakan dengan melihat tempat dan waktu. Bayangkan seseorang terus- menerus tersenyum cerah di rumah duka. Sama sekali tidak menyenangkan, bukan?
Senyum harus tulus, tetapi diperlukan juga teknik untuk mengekspresikannya dengan baik. Anda bisa menggunakan trik para pramugari untuk membentuk senyum yang membuat Anda terlihat cantik dan menarik.
Tip menciptakan senyum indah ala pramugari
- Menggerakkan otot-otot wajah setiap pagi dan malam sambil menatap cermin.
- Memasang foto diri sedang tersenyum di layar ponsel dan menirunya.
- Memasang gambar seseorang yang senyumnya indah di cermin dan menirunya.
- Sering-sering melihat ke cermin untuk mengecek ekspresi wajah.
- Berusaha untuk selalu tersenyum dengan pikiran positif.
“Mungkin karena satu kelompok?”
Menghubungkan Kau dan Aku Secara Tanpa Sadar Similarity Effect
“Saya nyambung dengannya. Dia tahu meski saya tidak bicara.”
“Ada orang yang menyenangkan begitu saja.
Dan kita secara ajaib tertarik padanya.”
Adakalanya respons baik seperti ini muncul ketika kita pertama kali bertemu seseorang. Anda dapat menanggapi yang menguntungkan ini. Bukan karena dia sangat rupawan, pendidikannya bagus, kaya raya, atau terkenal. Ketika kita tertarik pada seseorang tanpa alasan khusus, biasanya ada sesuatu yang mirip dengan kita.
Untuk lebih mudahnya, kita ambil contoh dari pasangan suami-istri yang datang kepada saya untuk berkonsultasi tentang metode komunikasi. Sekilas saya bisa menebak seperti apa hubungan keduanya di saat mereka memasuki ruang konseling. Jika nada suara dan gaya bicaranya serupa, saya bisa dengan yakin berbicara.
“Anda tampak sangat harmonis. Karena hubungan Anda berdua sudah baik, tinggal masalah teknik komunikasi saja yang perlu diperbaiki.”
Mata mereka langsung membulat. Bagaimana saya bisa tahu. Sebaliknya, jika nada suara dan gaya bicara mereka saling berbeda secara signifikan, maka saya akan berkata seperti ini.
“Sepertinya belakangan ini hubungan kalian berdua sedang tidak baik. Dalam hal ini, kita harus memperbaiki cara kalian berkomunikasi secara mendasar. Dengan begitu, kita bisa memulihkan hubungan kalian.”
Pasangan ini pun terkejut dan bertanya bagaimana saya bisa tahu.
Apakah saya bisa meramaI?Tidak. Saya adalah manusia biasa. Saya hanya melihat tampak luar dari hubungan pasutri yang datang untuk berkonsultasi dan menerka dengan tepat laiknya seorang penebak ulung, bukan karena kekuatan supernatural atau karena kebetulan. Hasil penilaian itu berdasarkan “Efek Kesamaan (Similarity Effect)”.
Semakin banyak kesamaan dengan orang lain, maka semakin tinggi rasa kedekatan dengannya, dan begitu pula sebaliknya. Sederhananya, “mirip karena suka”. Oleh karena itu, pasangan suami-istri yang bermiripan kemungkinan besar saling menyukai, dan bila sebaliknya, maka bisa dibaca sebagai indikasi bahwa rasa ketertarikan masing-masing sudah memudar.
Psikolog sosial David Wilder meminta subjek mengenakan salah satu dari dua lencana dengan nama yang berbeda dan memasuki ruangan yang ditandai dengan papan nama tersebut. Mereka duduk di meja yang telah diberi partisi sehingga tidak tahu siapa yang ada di sebelahnya. Begitulah subjek terbagi menjadi dua kelompok. Setengah dari subjek kemudian menerima lembar pendapat dari orang di ruangan yang sama dan setengahnya lagi menerima lembar pendapat dari orang di ruangan lain. Lembar pendapat tersebut berisi penjelasan tentang karyawan yang menyebabkan masalah dan subjek diminta menentukan apakah ia bersalah atau tidak untuk diberi hukuman.
Hasilnya, subjek menunjukkan kecenderungan untuk setuju terhadap pendapat orang di ruangan yang sama. Sementara di sisi lain, mereka cenderung untuk tidak mengikuti pendapat orang di ruangan yang lain. Ketika orang di ruangan yang sama menyarankan agar karyawan itu diberi hukuman ringan, ia setuju. Namun ketika orang di ruangan lain yang menyarankan agar diberi hukuman ringan, ia tidak akan mengikutinya dan malah meminta hukuman yang lebih berat. Bukan hanya itu. Subjek mempertimbangkan matang-matang pendapat dari orang di ruangan yang sama dan mengingat sebagian besarnya, tetapi tidak untuk pendapat dari orang di ruangan lain.
Ini menunjukkan bahwa kesamaan lencana dan ruangan saja dapat membentuk rasa senang yang memengaruhi penilaian.
Dalam konteks yang sama, semakin besar kemiripan dengan pewawancara, maka semakin bermanfaat untuk menunjukkan kesan yang baik. Kemiripan tersebut bisa dalam berbagai hal, seperti kota asal, universitas, penampilan, hobi, suara, dan gaya busana.
Apakah Anda ingin meraih simpati seseorang? Jika demikian, temukan kemiripan Anda dengan orang tersebut. Sudah umum diketahui bahwa tenaga penjualan berhasil membuat kontrak dengan pelanggan yang memiliki kemiripan usia, agama, kota kelahiran, dan hobi.
Anda juga bisa dengan sengaja membuat kemiripan secara tidak berlebihan. Anda dapat secara natural mengulangi kata-kata terakhir lawan bicara Anda sebagai tanggapan atas ucapannya atau memakai pakaian yang senada dengan gaya seseorang yang ingin Anda taklukkan. Ada hasil eksperimen tentang tingginya tingkat penerimaan ketika seseorang yang meminta tolong mengenakan seragam yang mirip dengan orang yang dimintai tolong.
“Saya mengalami kecelakaan tahun lalu dan itu benar-benar masa yang sulit.”
“Oh ya, pasti sangat sulit, ya.”
“Konsep baju kita hari ini sama, ya.”
“Iya, betul. Pertemuan hari ini terasa menyenangkan.”
Cobalah untuk menunjukkan kepekaan Anda secara tepat, tanpa membuat muak. Tidak ada yang serupa dengan efek kesamaan dalam meningkatkan keakraban dengan orang lain dalam waktu yang cepat. Jangan malu-malu, cobalah melatih indra Anda dengan benar.
“Tutup dengan pujian.”
Dari Negatif ke Positif, Ucapan yang Baik pun Butuh Penutup Recency Effect of Praise
“Senang sekali melihat wajah Bapak Park yang selalu tersenyum”
“Warna dasi Anda hari ini bagus sekali untuk wajah Anda, Bapak Kim”
Ada ucapan yang dapat mengubah hubungan yang dingin menjadi hubungan yang intim dalam sekali waktu. Itu adalah pujian. Tidak ada orang yang merasa kesal jika mendengar pujian. Pujian membuat orang yang mendengar jadi bersemangat dan orang yang memuji jadi disukai. Meskipun demikian, bangsa kita cenderung pelit untuk memuji.
“Habis tidak ada yang bisa dipuji. Kita kan tidak bisa memaksakan.”
“Aku tidak suka menyanjung jika tidak dari hati.”
“Memangnya harus selalu diucapkan? Dirasakan di hati saja sudah cukup.”
Tidak memuji dengan alasan-alasan seperti itu merupakan bentuk rasionalisasi. Pujian dilontarkan tidak hanya ketika orang lain telah melakukan sesuatu yang patut dipuji. Pujian adalah ungkapan kasih sayang dan kepedulian terhadap orang
lain. Artinya, pujian tidak diberikan dengan penuh kepalsuan sebagai balasan atas perlakuan baik atau pemberian kepada kita.
Ketika melihat seorang anak yang tumbuh dengan sehat, tidakkah kita akan serta-merta memujinya karena suka dan gemas? Pujian muncul karena rasa sayang kepadanya, bukan karena anak itu telah melakukan sesuatu yang layak dipuji. Hal yang sama berlaku untuk hubungan lain. Jika Anda memiliki ketertarikan dan kasih sayang terhadap atasan, bawahan, karyawan, guru, atau siswa Anda, maka akan ada hal yang bisa Anda puji tanpa harus bekerja keras.
Untuk bisa memuji, rasa sayang dan tertarik kepada orang lain harus menjadi landasannya. Jika memandang dengan rasa sayang, kebaikannya akan tampak lebih besar daripada keburukannya. Pasti ada hal baik menonjol dari sisi apa pun, entah itu penampilan, kemampuan, atau karakter. Kita dapat menggunakan salah satunya secara khusus untuk memujinya.
“Anak Ayah cantik karena hidungnya mirip hidung Ayah.” “Saya suka suara bass Anda saat presentasi tadi.”
“Minseok membantu teman membersihkan rumah, ya. Keren!”
Ada satu cara untuk memaksimalkan efek pujian. Memuji sebanyakdan sesering mungkin sepertinya baik, tetapi sebetulnya tidak. Ada yang namanya “Efek Pujian Akhir (Recency Effect of Praise)”, yaitu sebuah keadaan di mana seseorang justru merasa lebih senang ketika dikritik di awal tetapi dipuji di akhir.
Psikolog sosial Aronson dan Linda pernah melakukan percobaan kepada 80 mahasiswi di University of Minnesota.
Mereka diperdengarkan omongan orang lain tentang diri mereka dalam empat kesempatan, kemudian diminta menilai tingkat kesenangan mereka terhadap orang yang mengatakannya.
Pada kesempatan pertama, mereka terus dipuji dengan “la berpendidikan, kata-katanya santun, dan terkesan ramah”. Di babak kedua, mereka terus dikritik dengan “la kurang berwawasan, berbicara terbata-bata, dan kesannya kurang asyik”. Pada ronde ketiga, mereka dikritik lalu dipuji seperti “la kurang berwawasan dan bicaranya terbata-bata, tapi kesannya cukup asyik”. Sementara di putaran keempat, mereka dipuji lebih dulu lalu dikritik seperti “la berpendidikan dan kata-katanya santun, kesannya kurang asyik”.
Bagaimana hasilnya?
Ronde pertama yang hanya berisi pujian mungkin yang tampak paling menyenangkan, tetapi nyatanya bukan. Babak ketigalah-yang dimulai dengan penilaian negatif dan diakhiri dengan pujian positif yang paling menyenangkan. Terkait hal ini, Aronson dan Linda mengatakan,
“Pujian yang terus berulang tidak hanya akan membuat mual dan kredibilitasnya menurun, tetapi juga diragukan ketulusannya. Hal ini membuat makna asli pujian itu memudar sehingga bisa membuat orang mengiranya sebagai basa-basi atau menjilat.”
Jika kita memberikan pujian kemudian mengkritik, hal itu akan membuat perasaan menjadi buruk karena harapan akan terus dipuji ternyata keliru. Sebaliknya, jika kita mengkritik lalu menutupnya dengan pujian, efek dari pujian akan menjadi maksimal. Ini dikarenakan efek akhir yang disebutkan di atas, yaitu fenomena informasi yang disajikan kemudian lebih diingat.
Nilai guna efek akhir sangat tinggi di dalam pujian. Seorang guru sebaiknya memarahi lebih dulu sebelum memuji muridnya. Siswa itu akan lebih mengingat pujian di akhir daripada soal ia dimarahi dan akan merasa senang dengan sang guru. Bahkan mungkin lebih senang ketimbang kepada guru yang hanya memujinya.
Begitu pula dengan hubungan orangtua dan anak. Selalu memuji anak juga kurang baik bagi perkembangan emosinya. Kesalahan anak juga perlu diperbaiki. Setelah itu, baru diakhiri dengan pujian. Demikian juga dengan atasan di perusahaan. Selalu memarahi ataupun sembarangan memuji secara formal tidak akan menguntungkan siapa pun. Tunjukkan masalah, tapi akhiri dengan memuji kebaikannya.
“Salahmu apa? Salah tiang listrik!”
Penyebab Adu Mulut Saling Menyalahkan Fundamental Attribution Error
Pagi hari yang sibuk, Anda sebagai pekerja kantoran bermaksud mengenakan baju kerja. Namun, kemejanya belum disetrika. Sambil menatap putus asa ke istri, Anda melontarkan sebuah ucapan. Kira-kira apa yang akan Anda katakan di saat seperti ini? Secara umum, ada dua tipe.
Tipe A: “Apa sih yang kamu lakukan di rumah? Kemeja satu helai saja tidak disetrika.”
Tipe B: “Sepertinya akhir-akhir ini kamu kewalahan dengan pekerjaan rumah. Tapi, kamu harus tetap memikirkan pakaian suamimu.”
Kemungkinan besar Anda adalah tipe A. Orang-orang biasanya mencari penyebab sebuah tindakan dari sifat, dorongan, watak, dan sikapnya sendiri daripada dari faktor-faktor eksternal seperti lingkungan dan kesempatan. Alasan sang istri tidak menyetrika kemeja itu mungkin karena memang sifatnya yang malas atau karena sibuk dengan pekerjaan rumah. Namun, kebanyakan orang cenderung berusaha mencari penyebab tindakan tertentu pada masalah internal seseorang daripada lingkungan atau kondisi eksternal. Oleh karena itu, banyak yang suka menyalahkan orang lain dan akhirnya terlibat adu mulut.
Hal ini disebabkan oleh “Kesalahan Atribusi Mendasar (Fundamental Attribution Error)”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Psychology of Interpersonal Relations tahun 1958 oleh psikolog Heider asal Australia sebagai bagian dari Attribution Theory, yang berarti proses menyimpulkan penyebab suatu tindakan. Kesalahan atribusi mendasar adalah ketika seseorang mencari penyebab suatu tindakan bukan dari faktor eksternal, melainkan dari kecenderungannya secara pribadi.
Psikolog Ross, Amabile dan Steinmetz, membuktikan hal ini lewat percobaan berupa permainan kuis. Mereka membentuk tiga kelompok dengan metode undian: kelompok penanya, kelompok yang ditanya, dan kelompok yang mengamati kedua kelompok tersebut. Kemudian kelompok penanya diminta untuk mengajukan pertanyaan.
Kelompok penanya terlihat nyaman, sementara kelompok yang ditanya tampak berapi-api. Semakin lama jumlah pertanyaan yang dijawab salah oleh kelompok yang ditanya kian bertambah. Kelompok pengamat hanya diam saja menyaksikan kejadian ini.
Beberapa waktu kemudian, setelah pertandingan usai, ketiga kelompok diberikan pertanyaan yang sama.
“Bagaimana pendapat kalian tentang tingkat pengetahuan kelompok penanya dan kelompok yang ditanya?”
Kelompok penanya menjawab seperti ini,
“Sepertinya kami memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan kelompok yang ditanya.”
Sementara kelompok yang ditanya dan kelompok pengamat memberikan jawaban yang mengejutkan.
“Kelompok penanya tampaknya memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi daripada kami.
Sesungguhnya, percobaan itu sangat menguntungkan penanya. Kelompok penanya adalah penendang penalti dan kelompok yang ditanya adalah penjaga gawang. Namun, kelompok yang ditanya dan kelompok pengamat menilai faktor internal, yakni aspek intelektual kelompok penanya lebih tinggi karena bisa mengarahkan jawaban-jawaban yang salah dibandingkan faktor eksternalnya.
Struktur persepsi inilah yang membuat orang mudah geram karena hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Ketika muncul masalah, mereka mencari penyebabnya pada kepribadian dan watak orang lain.
Apabila Anda mengalami situasi seperti ini, cobalah berhenti berpikir sejenak dan bernapaslah dengan teratur. Setelah itu, periksalah faktor eksternal secara perlahan-lahan. Misalnya saat kekasih Anda datang lebih lambat dari janji temu, alih- alih mengatakan “Sebel. Kebiasaan deh kamu terlambat terus,” cobalah untuk berkata seperti ini:
“Apa yang terjadi? Subway-nya terlambat, ya?”
Jika pacar Anda sibuk dengan persiapan tes masuk kerja sehingga jarang menemui Anda, jangan mengeluh, “Kamu selalu memikirkan dirimu sendiri,” dan cobalah berbicara seolah-olah Anda ada di posisinya.
“Kamu pasti sangat stres gara-gara tes itu, ya? Aku paham kok perasaan kamu.”
Cobalah sesekali atau dua kali. Anda akan merasakan betapa besar kekuatan kalimat kecil ini dalam membantu meningkatkan hubungan.
“Dekatilah orang yang terlalu waspada.”
Teknik Meruntuhkan Tembok Hati Dengan Perlahan-Lahan Rapport
Banyak pria yang memiliki kepemimpinan yang baik di tempat kerja dan tidak ada masalah dalam hubungan interpersonal, tapi ternyata kikuk dalam hubungan dengan lawan jenis. Suatu ketika B yang bekerja perusahaan IT meminta konsultasi kepada saya.
“Semua teman dan rekan kerja saya sudah punya pacar, kecuali saya. Apa yang salah dengan saya?”
Setelah mengobrol, ternyata ia tumbuh di tengah-tengah tiga bersaudara yang kesemuanya lelaki, sekolah di SMP dan SMA laki-laki, dan lulus dari akademi militer ROTC (Reserve Officer Training Corps), la hampir tidak mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan wanita sehingga teknik berkomunikasinya dengan lawan jenis sangat kurang. Gaya bicara yang langsung dan kaku antar pria sudah tertanam di dalam dirinya sehingga kebiasaan seperti itu pun muncul ketika berbicara dengan wanita, la hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan tidak mendengarkan ucapan lawan bicaranya secara rinci, ditambah aksen dialeknya yang terdengar seperti orang marah.
la membutuhkan teknik berkomunikasi yang santun terhadap lawan bicaranya. Syarat paling pertama yang harus ia penuhi adalah Rapport. Rapport adalah hubungan saling percaya antara seseorang dengan orang lainnya yang merobohkan dinding hati agar lebih mudah untuk berkomunikasi satu sama lain. Istilah ini berasal dari kata Prancis yang memiliki arti “merujuk ke” atau “diambil dari”, dan merupakan konsep yang banyak digunakan dalam psikoterapi, konseling psikologis, dan pelatihan.
Rapport adalah teknik yang sering saya gunakan karena harus berurusan dengan banyak konseli. Seseorang yang memiliki masalah tidak akan berbicara secara terang-terangan di depan seorang pakar psikologi komunikasi yang baru pertama kali ia temui. Ada jarak. Jika saya tidak memperlakukannya dengan baik, bersikap angkuh, atau tidak menghiraukannya di saat seperti ini, ia akan lebih sulit untuk mengungkapkan isi hatinya. Kemudian, tentu saja, konseling tidak akan berjalan secara mendalam.
Oleh karena itu, saya berusaha membuat rapport selama beberapa menit pertemuan dengan klien agar ia bisa memercayai dan merasa dekat dengan saya. Saat rapport sudah terbentuk, ia akan tersenyum dengan santai. Setelah itu, ia akan menguraikan gumpalan kegelisahannya. Ini menciptakan kedekatan personal meski dalam pertemuan yang formal sehingga konseling dapat menciptakan hasil yang jauh lebih baik.
B perlu memanfaatkan rapport dengan baik, la harus lebih dulu membentuk rasa saling percaya dan keakraban untuk menciptakan emosi yang baik pada pertemuan pertama dengan wanita. Hal ini juga berlaku bagi wanita yang kesulitan mendapatkan pacar. Ada tiga hal mendasar yang dibutuhkan untuk membentuk rapport.
Pertama, mendengarkan ucapan lawan bicara. Menatap mata lawan bicara sambil mengangguk-angguk atau mengulangi ucapannya walaupun dalam percakapan kecil dan tidak penting. Ini untuk memastikan bahwa orang lain tertarik pada kita.
Kedua, mengikuti gerakan lawan bicara. Minumlah teh saat orang tersebut minum teh dan tertawalah jika ia tertawa. Perilaku yang sama akan membuat orang lain merasa memiliki sifat yang sama.
Ketiga, mengungkapkan kisah pribadi. Ini bagian yang paling penting. Dengan mengungkapkan diri secara jujur atau menampakkan cela yang tidak disangka, kita dapat melenturkan kewaspadaan orang lain dan memberi kesan yang baik kepada mereka.
Ketika tembok kewaspadaan dan jarak berdiri, sulit bagi siapa pun, bukan hanya lawan jenis, untuk merasa nyaman. Jadi, mulailah dengan membangun keakraban atau kedekatan untuk meruntuhkan tembok. Anda sudah setengah berhasil apabila pintu hati sudah terbuka.
BAB 2
TEKNIK KOMUNIKASI PSIKOLOGIS UNTUK MEREKATKAN HUBUNGAN YANG RENGGANG
“Hmm, biar kuberi dia kesempatan untuk berbuat baik padaku.”
Teknik Meminta Tolong untuk Membuat Musuh Memihak Kita Cognitive Dissonance Theory
Hal ini dialami Benjamin Franklin, yang fotonya tertera pada uang kertas 100 dolar AS, ketika ia masih menjadi anggota Kongres Pennsylvania. Ada seorang lawan politiknya yang tajam dan itu cukup membuatnya malu, la berpikir keras bagaimana caranya menjalin hubungan yang bersahabat dengan orang tersebut dan terlintaslah sebuah ide di kepalanya.
“Ada pepatah mengatakan bahwa orang lebih suka pada orang yang ia baikin daripada orang yang baik padanya. Itu dia!”
Tidak lama kemudian, Franklin pergi menemui lawan politiknya tersebut.
“Ada buku yang perlu saya baca secepatnya, dan saya dengar Anda memilikinya. Jika Anda tidak keberatan, bolehkah saya meminjamnya?”
Meskipun buku itu sangat langka, ternyata ia dengan senang hati meminjamkannya.
“Tidak masalah. Anda bisa kembalikan setelah selesai membacanya.”
Beberapa hari kemudian, Franklin mengembalikan buku itu dengan catatan bertuliskan, “Terima kasih”.
Waktu berlalu sejak kejadian tersebut. Franklin secara kebetulan bertemu dengan lawan politiknya tersebut di Gedung Capitol. Namun, terjadi hal yang mengejutkan. Jauh berbeda dengan sebelumnya, ia mengajak berbicara lebih dulu dengan sikap yang sangat sopan. Setelah itu, hubungan keduanya berubah dari yang saling mendiamkan menjadi saling bersahabat. Belakangan, Franklin menuliskan dalam autobiografinya.
“Sekali musuh membantu Anda, selanjutnya ia akan lebih ingin membantu Anda lagi.”
Hal ini kemudian disebut sebagai “Efek Ben Franklin (Ben Franklin Effect)”. “Sekali membantu, ingin lebih membantu lagi? Apa ini masuk akal?” Mungkin ada juga orang yang tidak bisa memercayainya. Namun, latar belakang logis hal itu bisa dijelaskan dengan “Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory)”. Teori ini menjelaskan perubahan sikap dan perilaku untuk mengatasi ketidaknyamanan psikologis yang disebabkan oleh ketidakselarasan antara keyakinan, pikiran, sikap, dan perilaku seseorang.
Istilah ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1950 oleh psikolog Amerika, Leon Festinger dalam A Theory of Cognitive Dissonance, la melakukan percobaan pada mahasiswa Stanford University. Setelah menyuruh dua kelompok mahasiswa untuk melakukan pekerjaan yang membosankan dan tidak berarti, satu kelompok diberi uang $1 dan kelompok lainnya diberi uang $2 lalu diminta seperti ini.
“Maukah Anda berbohong kepada mahasiswa yang tengah menunggu giliran berikutnya bahwa pekerjaan ini sangat menyenangkan?
Ternyata, kelompok yang menerima $1 lebih setuju untuk berbohong. Kelompok ini merupakan mahasiswa kampus ternama di Stanford dan rasa gengsi melarang mereka untuk berkata bahwa mereka melakukan pekerjaan yang membosankan hanya demi $1. Mereka mengalami disonansi kognitif sehingga berusaha melindungi harga diri mereka meskipun dengan berbohong.
Dalam kehidupan sosial, kita akan memiliki hubungan yang buruk dengan seseorang. Kadang kala mereka yang secara sepihak menyimpan kebencian, dan kadang kala itu terjadi hanya karena tidak saling cocok. Pada saat seperti ini, upaya mengembalikan hubungan yang renggang dengan bujukan dan rayuan tidak akan berguna. Cara yang paling efektif adalah mendekatinya untuk meminta tolong dengan sopan.
“Baterai ponsel saya mendadak habis. Boleh saya pinjam (ponsel) sebentar?”
“Saya berencana berkemah bersama keluarga, tetapi kompor saya rusak. Boleh saya pinjam kompor Anda?”
“Saya agak kurang di area ini. Bisakah Anda mengajarinya? 20 menit saja cukup.”
Siapa yang tahu bahwa ketika Anda, yang biasanya dianggap lawan yang tidak menyenangkan, tiba-tiba meminta tolong, terbukalah obrolan indah yang membuat lawan jadi kawan.
“Kenapa ada permintaan maaf yang berhasil dan ada permintaan maaf yang dicaci maki?”
Minta Maaf Pun Ada Rumusnya Apology Theory
“Kenapa minta maaf duluan? Kamu kalah kalau minta maaf duluan!”
“Sudah, lupakan saja. Simpan saja rapat-rapat….”
Dalam sebuah hubungan, ada kalanya kita harus meminta maaf atas kesalahan yang tidak disengaja. Namun, banyak orang yang menganggap remeh permintaan maaf. Permintaan maaf yang tepat diperlukan karena satu pihak adalah pelaku dan pihak lainnya adalah korban. Jika kita tidak meminta maaf, bukankah akibatnya jelas? Hubungan akan memburuk atau putus dengan sendirinya akibat konflik.
Minta maaf merupakan salah satu ungkapan sehari-hari yang makna dan perannya tidak boleh diremehkan. Permintaan maaf saat ini menjadi topik penelitian akademis untuk dibentuk sebagai sebuah teori. Aaron Lazare, seorang profesor psikiatri di University of Massachusetts, AS, merupakan orang yang pertama kali mencari sisi ilmiah dari permintaan maaf, la menganalisis lebih dari seribu kasus dan menciptakan “Teori Permintaan Maaf (Apology Theory)" tentang makna sejatinya.
Apa itu meminta maaf? Meminta maaf adalah mengakui kesalahan Anda dan meminta korban untuk mengampuni Anda. Profesor Aaron Lazare menambahkan bahwa secara ilmiah permintaan maaf bukan sekadar pengakuan kesalahan dan pengampunan, tetapi juga merupakan kunci untuk mengurangi konflik.
la juga berpendapat bahwa permintaan maaf sering dianggap sebagai simbol kelemahan, tetapi pada kenyataannya membutuhkan kekuatan yang sangat besar. Menurutnya, ada empat tahapan untuk meminta maaf dengan tulus, yaitu mengakui, menyesali, mengklarifikasi, dan mengganti rugi, yang jika semuanya dijalani dapat memulihkan hubungan interpersonal.
Lalu, kata-kata apa yang efektif untuk meminta maaf? Kita bisa merujuk perihal ini pada hasil penelitian Profesor Roy Lewicki dari jurusan Administrasi Bisnis, Ohio State University, AS. Eksperimennya pada 755 subjek mengungkapkan bahwa permintaan maaf membutuhkan 6 unsur. Semakin banyak unsur yang terpakai, semakin besar kemungkinan orang tersebut akan memaafkan.
- Menunjukkan penyesalan
- Menjelaskan apa yang salah
- Mengakui tanggung jawab
- Berjanji tidak akan mengulangi
- Mengusulkan kompensasi atau balasan
- Meminta maaf
Di antara keenam hal ini, “mengakui tanggung jawab” di nomor 3 memperlihatkan efek yang paling besar. Mengakui
kesalahan dengan tulus dianggap sangat penting. Efek tertinggi kedua adalah nomor 5 karena orang-orang mengharapkan kompensasi yang nyata. Nomor 1, 2, dan 4 berada di urutan ketiga. Sementara nomor 6 memberikan efek yang paling rendah karena kata “maafkan aku” terkesan usang sehingga tidak efektif.
Meminta maaf jelas merupakan suatu keharusan ketika Anda melukai orang lain, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Permintaan maaf yang efektif seperti berikut ini.
- “Secara keseluruhan, ini tanggung jawab saya. Saya tidak tahu harus berkata apa lagi.”
► 3. Mengakui tanggung jawab - “Saya akan mengganti rugi, bukan hanya kerugian finansial, melainkan juga kerugian moril.”
► 5. Mengusulkan kompensasi atau balasan - “Saya benar-benar menyesali tindakan saya.”
► 1. Menunjukkan penyesalan - “Saya akan menjelaskan dengan sebenarnya bagaimana ini bisa terjadi.”
► 2. Menjelaskan apa yang salah - “Saya akan lebih berhati-hati agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.”
► 4. Berjanji tidak akan mengulangi - “Tolong maafkan saya kali ini saja.”
► 6. Meminta maaf
Kita semua pernah berbuat salah dan membuat kesalahan. Yang terpenting adalah bagaimana sikap kita setelahnya. Mengakui kesalahan dan meminta maaf sama sekali bukan tindakan yang lemah. Ingatlah bahwa mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atasnya merupakan sikap yang dewasa dan berani.
“Aku benci kamu. Kemarin ribut, sekarang main tangan/'
Berdamai Seperti Pakaian yang Basah Terkena Gerimis Sensory Adaptation Effect
“Saya sudah mengirim isyarat untuk rekonsiliasi, tapi dia tidak menanggapi sama sekali.”
“Saya mengajak untuk saling akur, tapi dia malah lebih marah dan menuduh saya mengatakannya karena sedang butuh”
Hubungan yang rusak parah akibat sesuatu yang tidak baik, sulit untuk dikembalikan seperti semula. Di saat seperti ini, kata-kata yang disesuaikan dengan sifat orang lain bukannya membantu, malah menciptakan kesalahpahaman yang lebih besar. Mengapa demikian? Ini dikarenakan emosi kesal orang tersebut belum hilang.
Mendesak orang lain secara terburu-buru karena ingin segera rekonsiliasi dan berdamai justru menimbulkan efek yang kontraproduktif. Ketidaksabaran agar orang lain juga mengubah pikirannya dengan cepat mengikuti kecepatan hati kita hanya akan menjadi racun.
Situasi seperti ini pasti membutuhkan waktu. Kita harus memberinya waktu dan mendekatinya secara bertahap. Dengan demikian, kita akan dapat berdamai di satu waktu tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia sedang berekonsiliasi.
Hal ini dapat dijelaskan dengan “Efek Adaptasi Sensorik (Sensory Adaptation Effect)”. Suatu keadaan tidak bisa merasakan stimulus akibat menurunnya fungsi sensorik karena secara terus-menerus menerima rangsangan tertentu sampai diberikan stimulus yang lebih besar. Kita semua sering mengalami fenomena ini dalam kehidupan sehari-hari.
Bayangkan Anda pergi ke pemandian umum. Anda akan terkejut saat pertama kali mencelupkan kaki ke dalam air panas, tetapi lama-kelamaan Anda merasa tidak panas lagi. Hal yang sama berlaku ketika makan makanan lezat. Baunya akan membuai di awal, tetapi setelah dimakan, Anda akan terbiasa dengan baunya.
Saya pernah bertemu dengan seorang mantan teman SMA setelah lebih dari 20 tahun. Saat melihat wajahnya di kafe, tanpa sadar saya mengembuskan napas berat. Ini karena saya merasakan jejak waktu di wajah teman saya.
“Hei, kamu berubah sekali. Ke mana wajahmu yang lama?” Teman saya yang kebingungan beberapa kali mengerjapkan mata sebelum membuka mulut.
“Kamu sendiri bagaimana? Coba lihat dirimu sendiri.”
“Apa? Memangnya aku kenapa? Berat badan dan wajahku masih sama, kok.”
“Lucu sekali. Kamu jarang lihat cermin, ya?”
Hari itu saya melakukan dua kesalahan. Pertama, langsung mengatakan sesuatu yang menyinggung teman saya; kedua, tidak melihat perubahan pada wajah saya sendiri. Saya bukan tidak pernah bercermin, tetapi ini dikarenakan efek adaptasi sensorik sehingga saya tidak menyadari perubahan wajah saya. Saya melihatnya setiap hari sampai tidak bisa merasakannya berubah secara perlahan. Perubahan kecil yang berlangsung dalam waktu lama seperti ini akan membuat pengetahuan lewat indra menjadi sulit.
Anda dapat menggunakan prinsip ini ketika mencoba berdamai dengan seseorang dalam hubungan yang sedang renggang. Sampaikan isyarat dan ucapan untuk rekonsiliasi secara perlahan, bertahap, dan dalam waktu yang lama. Jika Anda bertengkar hebat dengan rekan kerja, jangan mencoba untuk langsung berbaikan pada hari berikutnya. Anda bisa mendekatinya diam-diam dengan berpura-pura menyampaikan berita atau memberi tahu ada hal baik di perusahaan.
“Ada kabar baik untukmu. Aku mendengarnya secara kebetulan.”
Setelah itu, Anda bisa kembali ke meja Anda seolah tidak ada apa-apa. Ada juga cara lain. Jika ada kesempatan untuk makan bersama teman-teman kantor, termasuk dia, Anda bisa berkata seperti ini.
“Makan memang enaknya ramai-ramai.”
Kali ini pun sebaiknya akhiri omongan dengan santai seolah-olah itu tidak berarti banyak. Jika Anda membuat isyarat rekonsiliasi pelan-pelan seperti ini, rekan Anda tidak akan menyadarinya sebagai upaya berdamai. Namun, seperti pakaian yang basah oleh gerimis, sinyal positif yang bertumpuk sedikit demi sedikit akan menghasilkan perdamaian di suatu waktu.
“Kenapa sih pemimpin tim selalu saja menghakimi?”
Di Balik Ucapan “Orang Lain Salah, Hanya Aku yang Benar” Cod Complex
“Anda salah. Saya benar”
“Jangan banyak bicara, lakukan saja sesuai perintahku.” “Ada yang lebih tahu tentang pekerjaan itu daripada aku?”
Ada orang yang suka memotong ucapan orang lain dan memutus pembicaraan seperti ini. Mereka tidak mencoba mendengarkan pendapat orang lain untuk mempersempit perbedaan pemikiran. Mereka menilai orang lain secara sepihak dan menutup pintu komunikasi.
Ada banyak orang dengan tipe seperti ini di sekitar kita. Jika orang seperti itu dipercaya untuk menjadi memimpin, masalahnya akan menjadi lebih serius dan organisasinya akan seperti darah yang terhambat akibat arteriosklerosis. Sama seperti hambatan komunikasi dalam suatu organisasi. Saya penasaran. Mengapa mereka hanya menghakimi orang lain dan tidak berkomunikasi secara horizontal? Mengapa demikian?
Hal ini bisa dijelaskan dengan God Complex, yakni keadaan di mana seseorang menganggap dirinya superior, baik secara sadar maupun tidak, dan percaya bahwa pendapatnya selalu benar dibanding orang lain. Istilah God Complex pertama kali digunakan oleh psikolog Ernest Jones dalam Essays in Applied Psycho-Analysis, sebuah fenomena yang muncul karena seseorang menganggap dirinya agung selayaknya Tuhan. Bagi mereka, pendapat mereka tidak mungkin memiliki cela dan yang ada hanya kesalahan dan kekurangan orang lain.
Cod Complex juga sering ditemukan dalam relasi suami- istri. Terlebih lagi jika sang suami lebih tua dan spesifikasi sosialnya lebih baik. Biasanya obrolan mereka seperti ini.
“Apa yang kamu tahu?”
“Apa yang kamu lakukan di rumah? paling hanya malas- malasan dan menambah berat badan.”
“Kamu lakukan saja sesuai perintahku, kenapa nggak mau dengar, sih.”
Rasa hormat dan perhatian mereka untuk pasangannya bisa dibilang setitik pun tidak ada. Kekerasan verbal seperti ini tentu akan semakin memperdalam jurang emosi di antara suami-istri jika terus berulang.
Hal yang sama juga berlaku di perusahaan. Ada pemimpin tim, manajer, atau direktur yang berbicara dengan gaya seperti ini. Mereka merasa dirinya paling benar dan akan langsung berceramah ketika disodori mic. Kalian diharapkan begini, kalian jangan begitu, dan berbagai kritik dan ajaran lainnya. Orang lain tidak punya hak untuk berbicara.
Mereka umumnya arogan, tidak menghormati orang lain, dan tidak pernah menerima kritik terhadap diri mereka sendiri.
Karyawan yang bekerja di bawah pimpinan seperti ini tidak akan punya nyali. Bermimpi menyampaikan pendapat yang kreatif dan konstruktif saja tidak bisa karena organisasi berjalan sesuai dengan selera pemimpin.
Bisakah organisasi yang mengutamakan pemimpin daripada semangat bekerja secara spontan para anggotanya berjalan dengan baik? Jawabannya jelas. Organisasi seperti ini tidak akan bertahan lama.
Jadi bagaimana kita dapat menghindari Cod Complex? Cara terbaik adalah berbicara dengan sikap “menempatkan diri di posisi orang lain”. Jangan melihat sebuah pekerjaan sebagai urusan orang lain. Perhatikan dan periksa kembali jangan- jangan secara tanpa sadar kita menunjukkan gejala seperti itu.
Untuk pasangan suami-istri, mari berbicara dengan cara seperti ini.
“Kalau dari posisi kamu, mungkin saja kamu berpikir begitu.”
“Belakangan ini kamu bahkan tidak punya waktu untuk berolahraga karena sibuk dengan pekerjaan rumah dan sekolah anak-anak, kan?”
Jika Anda seorang pemimpin tim yang sedang melakukan rapat dengan anggota tim, Anda mungkin bisa berkata seperti ini.
“Saya tidak selalu benar, jadi jangan ragu untuk memberi tahu saya jika Anda memiliki ide yang bagus.”
“Saya tidak pernah memikirkannya, itu ide yang bagus.”
Jika Anda seorang manajer atau perwakilan direksi yang sedang berbicara di auditorium, Anda bisa berkata seperti ini.
“Saya ini sama dengan Anda. Saya bisa berbuat keliru atau salah dalam menilai. Oleh karena itu, saya selalu berusaha membuka jendela komunikasi yang setara. Saya mohon bantuan Anda sekalian demi perkembangan perusahaan.”
“Hai! Selamat pagi!”
Semakin Buruk Hubungan, Sapalah Lebih Dulu The Law of Reciprocality
Hubungan di antara manusia tidak selalu baik. Hubungan yang damai pun bisa renggang akibat tersangkut hal-hal buruk. Kita tidak tahu dari mana dan bagaimana cara melepas simpul tersebut. Sebaiknya kita mulai dengan apa?
Jawabannya bisa jadi sangat sederhana. Solusinya selalu ada di dekat kita. Salam. Anda bisa menyapanya seperti biasa. Namun ketika hubungan merenggang, banyak orang yang berpikir seperti ini.
“Bagaimana aku bisa menyapanya? Hubungan kami kan sedang tidak bagus.”
“Jika aku menyapanya lebih dulu, nanti dia menganggapku gampangan.”
Mereka juga berpikir seperti ini.
“Kenapa aku duluan… yang lebih muda dong yang harusnya menyapa lebih dulu.”
“Bukankah yang benar junior duluan yang menyapa? Begitu seharusnya.”
Kita kerap kali ragu untuk menyapa lebih dulu akibat pemikiran otoriter ini. Tidak ada hukum yang mengatur siapa yang harus lebih dulu menyapa. Namun demikian, orang sering berpikir bahwa orang yang lebih di bawah yang harus melakukannya lebih dulu. Oleh karena itu, hubungan menjadi lebih kaku karena orang yang lebih muda merasakan beban untuk memberi salam.
Profesor Kwak Geum-ju dari fakultas psikologi, Seoul National University, justru mengatakan bahwa sebuah salam akan lebih mudah disambut jika orang yang lebih tinggi yang menyapa lebih dulu.
“Ini merupakan salah satu aspek dari otoritas dalam kehidupan sehari-hari. Anda mungkin berprasangka bahwa Anda akan terlihat rendah jika menyapa lebih dulu. Padahal ada efek imitasi positif jika orang yang lebih tinggi menyapa lebih dahulu.”
Ini adalah “Hukum Timbal-Balik (The Law of ReciprocaUty)”. Dalam bahasa yang lebih sederhana berarti “memperoleh kebaikan karena berbuat kebaikan”. Sebuah hubungan yang baik bukan dengan hanya satu sisi yang memberi atau menerima. Tidaklah penting atas atau bawah. Sikap lebih dulu berbuat baik yang lebih penting.
Pada tahun 1971, seorang psikolog dari Cornell University, Prof. Dennis Regan, melakukan percobaan psikologi dengan membagi mahasiswanya menjadi dua tim. Tim pertama diberikan cola gratis dan diminta seperti berikut.
“Setelah percobaan ini selesai, tolong belikan tiket lotre senilai 25 sen per lembar.”
Tim kedua diminta melakukan hal yang sama tanpa diberi cola gratis. Hasilnya, tim pertama yang mendapat cola gratis membelikan tiket lotre dua kali lebih banyak daripada tim kedua yang tidak mendapatkan apa-apa. Cola 10 sen, tiket lotre 25 sen. Mereka membelikan tiket lotre meskipun merugi. Kita dapat melihat bahwa kekuatan kebaikan kecil lebih besar daripada yang kita kira.
Sebuah kelompok agama di Amerika Serikat berhasil mengumpulkan sumbangan yang besar dengan menggunakan hukum timbal-balik. Mereka pergi ke bandara dan memberikan seikat bunga kepada para calon penumpang sambil berkata seperti ini.
“Bunga ini adalah hadiah dari hati kami.”
Sumbangan yang diberikan para pelancong setelah mereka melakukan hal tersebut jauh lebih besar daripada ketika mereka tidak melakukannya.
Begitu juga dengan salam. Sapa dan majulah lebih dulu, terlepas dari usia dan jabatan. Namun demikian, ada empat hal yang perlu diingat saat menyapa lebih dulu.
Pertama, teruslah menyapa walaupun orang itu mengabaikan Anda.
“Kenapa aku harus melakukannya?” Mungkin ada yang sulit menerima mengapa harus terus menyapa meskipun diabaikan. Saya tidak menyuruh Anda untuk keras kepala. Ketika hubungan renggang, wajar jika orang tersebut sulit untuk langsung merespons sapaan Anda. Bisa jadi ia kebingungan dan bertanya-tanya, “Mengapa dia seperti itu?” atau “Apa aku salah tangkap?”. Namun bila Anda secara konsisten menyapanya di hari berikutnya dan hari berikutnya lagi, ia pun akan merasa lega untuk menerima salam Anda sepenuhnya.
Kedua, sapalah dengan ucapan yang jelas sampai selesai.
Tidak ada gunanya menyapa dengan setengah hati dan tidak sampai selesai. Anda harus menyapa dengan tegas agar bisa dipahami oleh orang tersebut sehingga maksud Anda pun tersampaikan dengan baik dan benar.
Ketiga, bungkukkan punggung di saat formal.
Menganggukkan kepala saja tidak cukup. Sekarang Anda sudah mempunyai tujuan yang pasti bahwa Anda akan memperbaiki hubungan agar tidak memburuk. Membungkuk dengan sopan adalah hal yang wajar saat memberi salam. Meskipun awalnya orang tersebut ragu-ragu untuk menerima salam Anda, di kemudian hari ia pun akan balas menyapa dengan cara yang sama.
Keempat, jangan hilangkan senyum dari wajah Anda.
Lebih baik tidak menyapa bila wajah tertekuk kaku. Jika Anda pernah sekali saja mengalami betapa hebatnya kekuatan sapaan “Selamat pagi!” dengan senyum cerah, Anda akan mengikuti saran ini dengan senang hati.
Saling menyapa dalam kondisi hubungan baik saja tidak mudah. Terlebih lagi dalam hubungan yang renggang. Namun bila Anda masih akan bertemu lagi dengannya, Anda harus berusaha, bagaimanapun caranya. Ingatlah bahwa tidak ada cara yang lebih mudah dan pasti untuk memulihkan hubungan daripada mengucapkan salam.
“Kamu tidak tahu? Aku sih sudah menduganya.”
Kebiasaan yang Membahayakan Hubungan Hindsight Bias
“Kukira kamu yang membuat keputusan ini”
“Kenapa kamu terkejut? Kamu tidak tahu dia akan begitu? Aku sih sudah menduganya.”
“Bukankah sudah jelas akan jadi seperti ini?”
Ada orang-orang yang gemar mengatakan ini ketika sesuatu yang buruk terjadi. Biasanya dari orangtua kepada anaknya.
Dalam proses pertumbuhannya, anak-anak akan terluka dan membuat kesalahan kecil maupun besar. Begitulah mereka bertumbuh melalui proses semacam itu.
Akan tetapi, banyak orangtua yang membuat asumsi negatif atau membuat anak merasa malu dengan berkata, “Sudah Ibu duga suatu saat kamu akan membuat masalah” ketika anak membuat kesalahan kecil.
Banyak orang menunjukkan sikap tahu segalanya karena itu adalah anak-anak mereka. Mereka berbicara seakan telah menembus hingga kesalahan atau masalah yang akan dibuat oleh si anak. Namun, ini adalah ilusi besar. Ilusi ini bermula dari “Bias Prediksi (Hindsight Bias’)”.
Bias Prediksi adalah kecenderungan untuk memercayai bahwa diri sejak awal sudah mengetahui hasil dari sesuatu setelah mengetahui suatu hasil. Ini dikenal juga sebagai “Efek Selama- ini-aku-sudah-tahu (Knew-it-all-along Effect)”.
Orang pertama yang memperhatikan fenomena ini adalah psikolog Amerika, Baruch Fischhoff. Dalam sebuah seminar, ia mendengar para dokter internis kompak berkomentar seperti ini tentang sebuah kasus.
“Pasien ini pasti mengalami komplikasi diabetes. Saya sudah menduganya.”
“Saya juga. Dilihat dari kondisinya, wajar jika pasien ini mengalami komplikasi diabetes.”
Semua orang berbicara dengan penuh keyakinan bahwa hasilnya adalah komplikasi diabetes dan mereka sudah menduganya akan seperti itu. Tidak ada dokter yang mengatakan tidak menduganya. Mereka seperti menegaskan otoritas mereka sebagai dokter. Namun, ia melihat ada unsur tidak ilmiah dalam pendapat mereka.
“Semua orang membuat kesimpulan dan berkata bahwa hasil tersebut tidak terhindarkan. Artinya, tidak ada yang bisa menduganya sebelum hasil tersebut muncul.”
Berdasarkan hal ini, Fischhoff melakukan percobaan bersama dengan Beyth. Ketika Nixon hendak mengunjungi Tiongkok pada tahun 1972, para subjek dimintai pendapat tentang apa kira-kira hasil dari kunjungan tersebut. Sebagian besar memandangnya secara negatif. Namun, kenyataan berkata lain. Pertemuan Nixon dengan Mao Zedong sukses dan kedua negara sepakat untuk menghapus hubungan permusuhan. Berita ini disiarkan secara besar-besaran.
Mereka kembali bertanya kepada para subjek yang sama tentang perkiraan mereka mengenai hasil pertemuan tersebut. Lalu mayoritas memandang hasil pertemuan tersebut secara positif. Bahkan mereka yang sebelumnya memandang hasil pertemuan tersebut secara negatif seolah lupa pernah melakukannya.
“Saya sudah kira akan berhasil. Saya sudah lihat tanda-tandanya.”
Dari percobaan ini, Fischhoff dan Beyth menemukan bahwa orang-orang cenderung berpikir bahwa mereka “sudah menduga” hasilnya. Padahal kenyataannya, mereka tidak memprediksi seperti itu.
Kita harus sangat berhati-hati terhadap bias prediksi ini karena dapat membawa pada sikap arogan bahwa diri kita mengetahui segalanya. Apalagi untuk orangtua, sebagaimana yang saya bahas di depan. Saat anak melakukan sesuatu yang mengecewakan dan Anda berkata sudah menduganya, Anda harus melihat bahwa komunikasi dengannya telah terputus. Bayangkan anak Anda asyik main game hari demi hari, lalu nilainya turun secara signifikan pada ujian tengah semester.
“Ibu sudah tahu akan jadi seperti ini sejak kamu main game terus. Justru aneh kalau nilaimu tidak turun dengan kondisi mental seperti itu.”
Bagaimana dengan anak yang mendengarnya? Harga dirinya akan jatuh dan pada saat yang sama kehilangan katakata untuk menjawab. Hubungan dengan orangtuanya pun semakin jauh. Tentu orangtua berhak marah ketika nilai anak turun. Namun, mereka juga harus memikirkan perasaannya.
Daripada memberikan cap negatif, lebih baik berkata seperti ini.
“Kali ini nilaimu sedikit turun. Menurut kamu apa penyebabnya? Ayo kita sama-sama pikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.”
Hal yang sama juga berlaku untuk anggota tim atau karyawan baru yang sering melakukan kesalahan. Jangan mengecap mereka secara negatif. Katakan seperti ini.
“Kamu salah.Tapi jadikan ini pelajaran dan lain kali kerjakan dengan lebih hati-hati.”
Kalimatyang mengandung bias prediksi juga biasa ditemukan dalam hubungan sehari-hari, bukan hanya dalam hubungan hierarkis seperti orangtua dan anak atau antara pemimpin dan anggota tim. Ketika pacar gagal dalam wawancara kerja, ketika kolega yang tidak disukai mengalami musibah, dan sebagainya. “Sudah kuduga”. Orang yang mengatakan kalimat itu mungkin merasa superior, tetapi dia harus mengetahuinya secara pasti. Jika kalimat itu dilontarkan sembarangan, dapat menjadi belati yang menancap ke dada orang lain, dan hubungan Anda dengannya pun akan merosot dengan cepat.
“Dulu aku itu.”
Berpikiran Terbuka Terhadap Sebuah Bualan Overconfidence Effect
“Hasil jepretanku bagus, kan.”
“Kalau soal itu, serahkan saja padaku. Aku jagonya.”
“Tidak ada yang bisa menandingiku kalau soal minuman.”
Kalimat itu pasti pernah Anda lontarkan dan juga sering Anda dengar. Manusia memiliki kecenderungan untuk mengemas diri mereka lebih tinggi dari yang sebenarnya. Pencari kerja yang lolos dengan bantuan seseorang mengatakan bahwa ia lolos karena nilainya melebihi skor. Suami yang mengajari istrinya mengemudi akan membual bahwa dirinya adalah pengemudi terbaik di dunia. Apakah hanya itu? Tidakkah semua orangtua mengatakan bahwa mereka dulu juara di sekolah?
Apakah mereka pembohong yang buruk? Bukan. Apakah mereka tidak rendah hati? Apakah mereka pembohong? Bukan karena itu. Meskipun kadarnya berbeda-beda, setiap orang memiliki tabiat untuk menilai dirinya sendiri dengan tinggi.
“Katanya kamu dulu pandai memotret, bukankah itu bohong? Aku lihat hasilnya biasa saja, kenapa kamu terus membual?”
“Katanya pandai memasak, kenapa cara memotongmu kasar sekali? Rasanya juga sepertinya tidak enak….”
Ada juga orang yang mengkonfrontasi segala hal seperti ini. Sepintas mungkin ia terlihat benar atau pintar, tetapi sebenarnya tidak. Anda tidak perlu menganggap ucapannya yang sedikit melebih-lebihkan sebagai masalah kemanusiaan dan Anda juga tidak perlu memeriksa faktanya. Mengapa demikian?
Kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemampuan diri di atas rata-rata disebut “EfekTerlalu Percaya Diri (Overconfidence Effect)”, yang sering disebut juga “Efek Danau Wobegon (Lake Wobegon Effect)”. Pada tahun 1970-an, penulis Amerika, Keillor, menyampaikan berita tentang sebuah desa fiksi bernama “Danau Wobegon” dalam program radionya. Penduduk desa ini disebut-sebut “lebih kuat dari rata-rata, tampan, pintar, dan sangat optimis”.
Psikolog Thomas Gilovich menemukan bahwa kecenderungan terlalu percaya diri adalah psikologi universal manusia dengan merujuk pada “Efek Danau Wobegon” sebagai kecenderungan untuk menganggap diri di atas rata-rata,. Pada tahun 1977, ia melakukan survei terhadap para siswa sebuah SMA di Amerika Serikat. Hasilnya, 70% siswa mengatakan kepemimpinan mereka di atas rata-rata dan 100% siswa mengatakan afinitas mereka di atas rata-rata.
Studi Daniel Kahneman terhadap pemilik UKM pun menunjukkan hasil yang serupa, la mengajukan pertanyaan seperti ini.
“Menurut Anda, berapa persentase perusahaan Anda akan berhasil?
Sebanyak 81% pemilik UKM menjawab mereka memiliki peluang sukses lebih dari 70% dan sebagian lagi mengatakan peluang mereka untuk gagal adalah 0%.
Namun, kenyataannya sangatlah berbeda. Rasio U KM Amerika berumur 5 tahun hanyalah 35%. Jika demikian, kebanyakan dari para pemilik UKM tidak bisa mengakui kenyataan ini dan terlalu yakin akan keberhasilan mereka. Artinya, kecenderungan untuk terlalu yakin ini adalah fenomena yang umum.
Oleh karena itu, kecuali kebohongan yang tidak wajar atau menyakiti seseorang, cobalah untuk memaklumi bualan orang yang dekat dengan Anda. Siapa yang akan nyaman berbicara jika Anda selalu mencoba mencari tahu kebenarannya atau menunjukkan hal yang dilebih-lebihkan seperti orang kikir? Anda akan sulit untuk memiliki hubungan yang baik dengan siapa pun.
Letakkan tangan Anda di dada dan pikirkan. Apakah Anda benar-benar tidak punya kecenderungan melebih-lebihkan atau terlalu percaya diri? Tidak pernahkah Anda satu kali saja sedikit membual di depan orang lain? Pasti Anda pernah melakukannya di suatu bagian. Terkadang, sisi itu membantu kita untuk hidup dengan teguh tanpa kehilangan kepercayaan diri.
- “Jangan khawatir soal bisnis baru ini. Proyek sebelumnya kan saya yang membesarkannya.”
- “Wah, kalau begitu saya akan mempercayai dan mengikuti kepala tim saja!”
- “Makanan di sini biasa saja. Aku bisa membuat yang lebih enak daripada ini.”
- “Oh, ya? Kalau begitu lain kali kamu harus membuatku mencobanya. Aku tunggu, lho.”
Obrolan ini bukan sekadar basa-basi. Itu sebuah toleransi yang masuk akal. Teknik komunikasi pada kenyataannya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Terkadang Anda hanya perlu tertawa, menerima, dan memperhatikan lawan bicara seperti ini.
“Aku sengsara karena dia sukses.”
Selamatkan Harga Diri Dengan Menghilangkan Kebiasaan Membanding-Bandingkan Neighbor Effect
Saya memiliki seorang teman saat saya baru mulai mengajar.
Sama seperti saya, ia juga melarikan diri dari menjadi seorang ibu rumah tangga dan menjalani kehidupan keduanya sebagai pengajar. Namun, dia sudah berbeda sejak awal. Penampilannya lebih menonjol dan cara bicaranya lebih fasih karena ia mantan seorang pramugari. Kian hari kian bertambah tempat kerja yang menginginkannya. Pada saat itu, saya sedang dalam keadaan bimbang apakah saya harus mengambil tawaran mengajar di daerah selama satu bulan, dan selalu cemas karena tanggapan tentang cara mengajar saya di kampus pun tidak terlalu baik di awal.
Seiring waktu, saya menjadi canggung untuk bertemu dengannya. Kata-kata ini sering keluar tanpa saya sadari.
“Kamu sekarang sudah jadi bintang pengajar, ya. Sementara apalah aku ini.”
“Kamu memang beda denganku. Kamu langsing sih jadi pakai apa pun tetap cantik.
Setiap kali bertemu dengannya, saya selalu membandingkan diri dengannya secara tanpa sadar. Saya semakin mengeluhkan keadaan saya, dan pada titik tertentu saya jadi enggan bertemu dengannya. Sekarang saya memang telah menjadi apa yang disebut orang-orang sebagai bintang pengajar. Namun pada saat itu, saya terus-menerus membandingkan diri dengannya dan menggerogoti kebahagiaan saya sendiri dengan mendefinisikannya lewat ucapan.
Hal ini bisa dijelaskan dengan “Efek Tetangga (Neighbor Effect)’. Sebuah kecenderungan untuk menilai diri sendiri dengan cara membandingkannya dengan kekayaan, tingkat konsumsi, dan status sosial tetangga. Ini dikenal juga dengan istilah “Keeping up with the Joneses”.
Dalam komik strip Amerika “Keeping up with the Joneses”, ada kisah yang mengambil psikologi membandingkan dari orang-orang. Orang yang sebelumnya hidup baik-baik saja tanpa mobil, lalu melihat keluarga Jones membeli mobil, ia pun jadi ingin membeli mobil karena merasa tidak punya apa-apa. Ketika keluarga Jones mengganti mobilnya menjadi sedan, mereka baru merasa lega jika mereka juga beralih ke mobil sedan. Demikianlah tetangga keluarga Jones akan merasa kurang dan tidak tenang apabila mereka tidak bisa mengikuti apa yang dilakukan keluarga Jones.
Paul Krugman adalah seorang ekonom dunia yang telah memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang ekonomi dengan prestasi akademik, reputasi sosial, pendapatan ekonomi, dan hal lain yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Orang seperti itu tentu saja kelihatannya bahagia. Namun, ia mengaku bahwa sebenarnya ia tidak bahagia dan mengungkapkan alasannya.
“Kelompok referensi emosional saya terdiri atas para ekonom paling sukses di generasi saya, dan saya tidak termasuk ke dalam golongan kecil itu.”
Apa maksudnya? Dia sudah menjadi ekonom terbaik, tetapi karena membandingkan dirinya dengan sesamanya, yakni ahli ekonomi kelas dunia, maka ia tidak punya pilihan selain menilai rendah dirinya. Akibatnya, ia tidak bisa menghindar dari rasa tidak bahagia.
Demikianlah orang-orang cenderung untuk membandingkan dirinya dengan orang lain tanpa henti. Terutama kecenderungan untuk membandingkan dengan orang yang lebih dekat, lebih besar daripada dengan mereka yang hubungannya jauh. Namun, begitu Anda mulai membanding-bandingkan, maka tidak akan ada lagi batasan dan ujungnya. Siapa pun pasti memiliki kekurangan di suatu sisi dibandingkan orang lain. Kecenderungan membandingkan ini adalah naluri yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Namun, kegagalan untuk mengendalikannya dengan baik dapat menyebabkan kesengsaraan dan menghancurkan sebuah hubungan.
Jurnalis Henry Louis Meneken mengatakan, “Orang kaya adalah orang yang menghasilkan uang lebih banyak daripada suami adik iparnya”. Artinya, Anda baru akan puas jika Anda sedikit lebih baik daripada objek pembanding yang ada di dekat Anda. Hal ini diiringi dengan rasa cemburu. Oleh karena itu, saudara dan teman dekat Anda akan selalu menjadi objek persaingan, dan hubungan dengan mereka lebih mudah retak daripada dengan orang yang berhubungan jauh.
Namun, mari coba pikirkan. Perlukah kita merasa tidak bahagia dengan terus-menerus membandingkan diri kita dengan orang lain? Apakah kita benar-benar ingin merusak hubungan hanya karena cemburu dengan apa yang dimiliki oleh teman- teman dan tetangga kita dan tidak kita miliki?
Periksa kembali kebiasaan berbicara Anda. Mungkin Anda pernah tanpa sadar mengeluarkan ucapan yang membandingkan diri dengan orang lain. Bagaimana bila Anda lupakan saja apa yang tidak Anda miliki dan bersyukur atas apa yang Anda miliki? Keyakinan dan kebahagiaan sejati tidak datang dari apa yang kita miliki, tetapi dari hati kita.
BAB 3
TEKNIK KOMUNIKASI PSIKOLOGIS UNTUK MENGHADIRKAN “YA”
“Apa yang saya katakan benar, karena Pak Bos juga bilang begitu.”
Meminjam Wewenang untuk Menguatkan Ucapan The Law of Authority
Seorang istri mendorong suaminya untuk berhenti merokok. Kira-kira mana yang lebih efektif antara A dan B?
A : “Rokok kan tidak baik untuk tubuh…. Tolong berhentilah merokok. Sebagai kepala keluarga, kamu kan juga harus memperhatikan kesehatan anak-anak.”
B : “Ini baru saja dirilis oleh para profesor di Harvard Medical School. Dampak buruk rokok pada tubuh manusia…”
Menurut Robert Cialdini, B yang lebih efektif. Ketika Anda memberikan alasan yang kuat, daya persuasinya akan lebih besar. Ini disebut “Hukum Otoritas (The Law of Authority)”. Pesan yang sama akan memiliki daya persuasi yang berbeda bagaikan langit dan bumi antara disampaikan oleh orang yang mempunyai otoritas dan yang tidak.
Pada tahun 1955, seorang asisten dosen di University of Texas bereksperimen melintasi penyeberangan ketika lampu berwarna merah. Satu kali ia menyeberang dengan pakaian formal dan satu kali ia menyeberang dengan pakaian santai. Mana yang lebih banyak diikuti orang-orang di sekitarnya untuk menyeberang? Orang yang mengikutinya saat ia berpakaian formal 3,5 kali lipat lebih banyak daripada orang yang mengikutinya saat ia berpakaian santai. Ini adalah efek dari pakaian yang bergengsi.
Ada lagi eksperimen lain yang memperlihatkan kekuatan otoritas. “Eksperimen Kepatuhan” yang dipaparkan oleh psikolog Amerika, Stanley Milgram, juga menunjukkan hasil yang sama, la merekrut relawan untuk “percobaan mengukur efek jera hukuman”. Para relawan berperan sebagai guru yang menjalankan misi memberi kejutan listrik setiap kali para siswa di balik jendela kaca mengatakan jawaban yang salah. Di ruangan itu, mereka ditemani oleh seorang pengamat yang memberi perintah.
Percobaan berjalan dan para siswa memberikan jawaban yang salah. Di setiap saat itu, peneliti (pengamat) meminta agar relawan berperan sebagai guru untuk meningkatkan tegangan listrik. Bagaimana hasil dari percobaan ini?
Secara mengejutkan, 65% relawan memberikan kejutan listrik hingga 450 volt, yang merupakan standar tertinggi. Meskipun para siswa berteriak minta tolong ketika tegangan listrik meningkat, sebagian besar relawan tidak menghentikan sengatan listrik. Tentu saja sengatan listrik dan jeritan para siswa itu palsu, tetapi para relawan tidak mengetahuinya.
Apa yang membuat para relawan tega memberikan sengatan listrik hingga ke level yang mengancam jiwa? “Karena para peneliti tidak menyuruh berhenti,” jawab mereka. Ini menunjukkan secara nyata bagaimana orang biasa secara membabi buta mengikuti arahan dan perintah dari orang yang memiliki wewenang. Bahkan perintah yang tidak patut dan kejam sekalipun.
Robert Cialdini mengatakan bahwa pesan dari otoritas yang diakui akan membuat seseorang memutuskan secara singkat tentang bagaimana ia akan bertindak dalam situasi tertentu.
“Seperti yang ditunjukkan Milgram, ada banyak kasus yang sebenarnya menguntungkan dengan mengikuti perintah otoritas. Di masa kanak-kanak, mengikuti otoritas yang lebih pintar daripada kita (seperti orangtua atau guru) jelas sangat berguna. Tidak hanya lebih bijaksana, tetapi mereka juga memiliki hak untuk memberikan ganjaran kepada kita. Ketika kita dewasa, peran otoritas ini digantikan oleh perusahaan, hakim, dan pemerintah. Namun untuk alasan yang sama, mengikuti otoritas ini juga memiliki manfaat. Pihak berwenang memiliki lebih banyak informasi dan kekuasaan berkat status sosial mereka, sehingga menuruti permintaan mereka adalah hal yang sangat masuk akal. Namun, bila kita terlalu menganggap wajar untuk mematuhi mereka, kita juga akan menelan mentah-mentah perintah mereka yang sama sekali tidak logis.”
Dari kisah-kisah ini, dapat kita ketahui bahwa hukum otoritas sangat efektif untuk membujuk seseorang. Namun, bukan berarti Anda juga harus mematuhi otoritas yang salah dan tidak masuk akal. Anda hanya perlu menggunakan psikologi patuh pada otoritas untuk membujuk seseorang.
“Menurut laporan US McKinsey Consulting, tingkat keberhasilan strategi pemasaran ini mencapai 89%. Dengan menggunakan strategi ini, margin laba operasi naik 35% dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, kita juga perlu menerapkan strategi pemasaran ini.”
“Kita harus membuka pasar baru dan bukan memakan daging sendiri di Red Ocean. Menurut Profesor Kim Wi-chan selaku pencetus strategi Blue Ocean…”
“Ibu, buku ini sangat berguna untuk membuat tulisan. Ibu tahu kakak perempuan tetangga kita yang masuk ke Seoul National University (SNU)? la juga menggunakan buku ini…”
Sulit untuk mendapat tanggapan dari orang lain hanya dengan menekankan posisi dan pengalaman diri sendiri. Mengemas argumen dengan baik dan memberikan alasan yang logis akan sangat membantu. Menggunakan kata-kata orang yang berwenang di bidangnya, hasil penelitian lembaga ternama, tulisan para ahli, dan data statistik yang sudah terbukti, akan memperkuat kata-kata Anda dengan wewenang dan kredibilitas mereka. Membentuk pendukung yang kuat akan menopang logika Anda.
“Saya mohon gaji saya dinaikkan, karena…”
Kata Ajaib untuk Menghadirkan “Ya” Tanpa Sadar Langer’s Experiment
A : “Ibu, aku mau mainan itu. Kalau nggak dibelikan, aku nggak mau makan.”
B : “Ibu, aku mau mainan itu. Aku sangat butuh mainan itu.”
Manakah di antara ucapan anak yang merengek minta dibelikan mainan oleh ibunya tersebut yang lebih efektif? Apakah Anda berpikir bahwa tidak ada bedanya karena keputusan tergantung pada orangtuanya? Namun, tidak demikian.
B jauh lebih efektif. Jika Anda seorang ibu yang pernah membesarkan anak, cobalah untuk mengingatnya. Ketika anak itu menggunakan kata “karena”, ucapan anak itu terasa lebih logis sehingga tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasi. Sesungguhnya, “karena” merupakan kata persuasi yang dapat menyihir dan memiliki efek yang kuat.
Hal ini bisa dijelaskan dengan “Percobaan Langer (Langer’s Experiment)”. Ellen Langer, seorang profesor psikologi di Harvard University, mengungkapkan bahwa menjabarkan alasan sangat efektif untuk membujuk orang lain.
Tim peneliti Prof. Ellen Langer melakukan percobaan berikut kepada orang yang sedang mengantre untuk memfotokopi di perpustakaan. Mereka meminta beberapa orang tidak dikenal untuk mendekati orang yang mengantre tersebut, dan masing- masing mengatakan hal yang berbeda.
Yang pertama berkata seperti ini.
“Permisi. Saya mau fotokopi lima lembar saja, boleh duluan?”
Pengantre yang merespons permintaan seperti ini hanya 60%.
Yang kedua berkata seperti ini.
“Bolehkah saya pakai mesin fotokopinya duluan? Karena saya sedang buru-buru.”
Pengantre yang merespons permintaan dengan menjabarkan alasan yang layak seperti ini mencapai 94%.
Percobaan ini membuktikan bahwa efek “karena” sangat besar. Penelitian berjalan lebih menarik untuk melihat secara konkret sejauh mana efek “karena” ini. Kali ini subjek eksperimen diminta mengatakan “karena” kepada orang-orang yang mengantre, tetapi dengan menguraikan makna kata yang tidak perlu.
Orang asing itu berkata seperti ini kepada orang-orang yang mengantre di depan mesin fotokopi.
“Boleh saya saya pakai mesin fotokopinya duluan? Karena saya harus memperbanyak berkas.”
Bagaimana reaksi orang-orang? Apakah mereka akan memarahinya karena dianggap bergurau? Anehnya, 93% dari pengantre justru menanggapi permintaan itu. Bagaimana kita dapat memahami fenomena ini? Robert Cialdini, penulis
Influence: The Psychology of Persuasion, menjelaskan alasannya seperti berikut.
“Percobaan dengan mesin fotokopi membuktikan efek motivasi unik dari kata ‘karena’. Kata ini bersifat persuasif karena terdapat hubungan asosiasi yang terus menguat dengan alasan yang masuk akal di baliknya.”
Orang-orang mengetahui bahwa setelah “karena”, ada alasan tepat yang mengikutinya. Sejak kecil, remaja, hingga dewasa, kita telah mengalami bahwa jika kata “karena” muncul, secara otomatis alasan akan mengikuti di belakangnya. Oleh karena itu, orang-orang pun akan secara otomatis mengatakan “ya” meski baru mendengar kata “karena”.
Cobalah menggunakan kata “karena” saat Anda mengajukan permintaan yang sulit kepada seseorang atau saat menegosiasikan gaji. Misalnya saat Anda ingin meminta orang tak dikenal untuk mempersilakan Anda untuk parkir.
“Boleh saya minta tolong untuk menggeser mobilnya. Karena saya ada urusan mendesak dan harus parkir di sini.”
Sekarang Anda sedang bernegosiasi soal gaji. Apakah Anda akan berkata, “Tolong naikkan gaji saya. Saya kan sudah bekerja keras”? Kata-kata seperti itu tidak akan pernah masuk ke telinga direktur. Bagaimana jika Anda berkata seperti ini?
“Saya ingin gaji saya dinaikkan. Karena saya sudah bekerja sangat keras dan saya rasa saya pantas mendapatkan imbalan seperti itu.”
“Karena” adalah kata ajaib yang membuat lawan bicara terbuai dalam ilusi bahwa ucapan Anda sangat masuk akal dan
kemudian menghadirkan “ya”. Jangan mendesak atau meminta dengan segera, tetapi buatlah lawan bicara Anda tak bisa berkata lain selain “ya”.
“Perasaanku bagus. Kali ini kamu pasti akan berhasil!”
Kekuatan Sebuah Kalimat Hangat Placebo Effect
“Tangan ibu adalah obat.”
Anda tentu pernah mengalami ketika rasa sakit di perut hilang begitu saja setelah digosok oleh ibu Anda. Sihir apa yang ada di sini? Apakah ini hanya kebetulan? Atau itu hanya ilusi?
Ada mekanisme medis dalam berperannya tangan seorang ibu sebagai obat. Ini adalah “Efek Plasebo”. Efek yang juga disebut “obat kosong” ini adalah fenomena membaiknya kondisi pasien setelah dibohongi dengan obat yang sebenarnya tidak memiliki efek apa-apa.
Pada tahun 1957, psikolog Bruno Klopfer menerbitkan laporan tentang efek tersebut. Di sebuah rumah sakit, terdapat seorang pasien penderita kanker getah bening stadium akhir yang sedang menunggu kematiannya. Pada saat itu, muncul pemberitaan dalam siaran dan surat kabar bahwa obat baru untuk kanker telah dikembangkan dengan kalimat khusus seperti ini.
“Kanker sudah ditaklukkan. Kini kanker sudah seperti flu!”
Sang pasien yang sedang berbaring sambil menonton berita tentu saja mendengar perihal ini. Jantungnya mulai berdebar- debar dengan mata menyipit lemah demi mendengar berita tersebut. Namun, para dokter tahu bahwa efek obat baru itu terlalu dibesar-besarkan dan tidak akan berdampak besar terhadap pasien ini. Meskipun dengan harapan tipis, mereka tetap memberikan obat baru itu. Mereka memberi tahu pasien seperti ini.
“Anda tahu obat baru ini, kan? Obat ini yang muncul dalam siaran. Kami akan mencoba mengobati Anda dengan obat ini.”
Para dokter memberikan obat tanpa banyak harapan. Namun setelah beberapa hari, mereka terkejut.
“Ini keajaiban! Kanker Anda bisa berkurang seperti ini.”
Setelah memastikan bahwa kondisi pasien membaik dengan cepat, para dokter masih tidak percaya dengan efek mengejutkan dari obat baru itu. Beberapa hari kemudian, muncul berita klarifikasi di TV tentang obat tersebut.
“Efek obat baru ini terlalu dibesar-besarkan. Terungkap bahwa ternyata obat itu tidak memiliki efek yang besar.”
Sang pasien tentu mendengar juga berita ini. Terjadi lagi hal yang mengagetkan. Kondisi pasien mulai memburuk semenjak itu. Bruno Klopfer kemudian menemukan bahwa kondisi pasien bisa berubah tergantung pada harapannya.
Menariknya, efek plasebo sering digunakan terutama dalam politik. Ini disebut politik plasebo atau “politik menyerupai”, yakni ketika politisi mengemas diri mereka dengan cara yang berbeda dari kenyataan, menggunakan berbagai macam retorika yang cemerlang. Salah satu contohnya adalah Presiden Ronald
Reagan, la mendorong kebijakan pengurangan anggaran pendidikan, tetapi ia pergi ke sekolah dan berbicara dengan ramah kepada para guru dan siswa.
“Jika ada hal yang membuat Anda tidak nyaman, sampaikan kepada saya. Saya akan pasang badan untuk mengatasi masalah sekolah.”
Ini menciptakan citra seorang politisi yang berjuang dan berusaha keras untuk pendidikan.
Efek plasebo juga bisa digunakan di dalam perusahaan. Jika Anda harus memberikan saran yang sulit kepada bawahan atau atasan Anda, coba gunakan efek plasebo alih-alih pembenaran atau penjelasan yang rumit. Berbicaralah dengan penuh keyakinan untuk membuat lawan bicara Anda berharap.
“Sistem ini sederhana, realistis, dan mudah diimplementasikan. Pekerjaan Anda pasti akan terbantu jika Anda mengikuti ini.”
“Jika Anda menerima dan melaksanakan usulan saya, rasio laba pasti akan meningkat pada kuartal berikutnya. Apakah Anda akan melepaskan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang besar di perusahaan Anda?”
Ada istilah baru bernama “konsumsi plasebo”. Serupa dengan kata gasimbi (tingkat kepuasan hati terhadap harga, penerj.)”, istilah tersebut mengacu pada konsumsi yang membuat hati tenang dan stabil meskipun sedikit mahal. Demikianlah kita sekarang ini begitu menginginkan efek plasebo.
“Bersemangatlah. Tim kita pasti akan memperoleh hasil yang baik di kuartal depan.”
“Menurutku, dietmu kali ini akan berhasil. Aku bisa merasakannya.”
Sudah waktunya mengerahkan kekuatan sepatah kata yang hangat untuk mendapatkan efek plasebo. Terkadang, keyakinan dan harapanlah yang mengubah hasil.
“Kata untuk menarik-ulur perhatian: ‘sebentar’.”
Ingat Lebih Lama Dengan Sengaja Tidak Menyelesaikan Zeigarnik Effect
“Saya harus presentasi. Bagaimana caranya meningkatkan konsentrasi?”
“Saya harus memberi kuliah selama dua jam berturut-turut, dan saya khawatir para siswa akan bosan”
Pertanyaan yang biasa diajukan oleh mereka yang akan memberikan paparan atau ceramah di depan banyak orang.
Mereka tahu bahwa saya telah khatam soal mengajar dan berkali-kali diminta untuk mengajar sehingga mereka ingin saya berbagi pengetahuan dengan mereka.
Orang yang berbicara di depan banyak orang harus memberikan perhatian khusus pada konsentrasi dan respons pendengar. Sebagus dan seberguna apa pun ucapan dan informasi yang disampaikan, semua akan selesai jika tingkat konsentrasi menurun atau orang menguap karena bosan.
Oleh karena itu, satu hal yang paling saya tekankan.
“Semakin penting yang disampaikan, jangan keluarkan semuanya sekaligus.”
Rasa gugup tidak akan pergi sampai kuliah berakhir kecuali Anda menyisakan sebuah ruang.
Pernahkah Anda mendengar tentang “Efek Zeigarnik”? Efek Zeigarnik adalah kondisi psikologis ketika sesuatu yang belum selesai tidak bisa dilupakan dengan mudah, sering disebut juga “efek yang tertunda”.
Bluma Zeigarnik, seorang psikolog wanita asal Lithuania, menemukan fenomena ini secara tidak sengaja. Rada tahun 1927, ia hendak memesan makanan di sebuah restoran di Berlin bersama teman-temannya. Seorang pelayan terlihat menerima pesanan dari tamu, tanpa mencatat apa pun di restoran yang tengah hiruk-pikuk oleh banyaknya pengunjung. Zeigarnik pun jadi bertanya-tanya.
“Bagaimana ia bisa mengingat semua pesanan tamu-tamu ini?”
Tamunya ada banyak dan menu yang bisa dipesan oleh masing-masing tamu pun ada puluhan item. Bisa saja ia lupa atau kebingungan dengan pesanannya. Namun ajaibnya, pelayan itu menyajikan makanan persis seperti yang dipesan. Apa rahasianya? Rahasia bagaimana sang pelayan mempertahankan daya ingatnya yang luar biasa itu langsung terjawab.
Zeigarnik yang kebetulan lupa membawa barang bawaannya di restoran, kembali lagi ke restoran tersebut untuk mengambilnya. la mendekati pelayan tadi untuk bertanya.
“Saya duduk di meja ini tadi, Anda ingat saya, kan?”
Secara mengejutkan, pelayan itu mengaku tidak bisa mengingatnya. Inilah kunci rahasianya. Pelayan mengingat isi pesanan sejak menerima pesanan sampai makanan dikeluarkan, lalu segera melupakannya setelah itu. Jika dibalik, kita dapat mengetahui bahwa memori tidak akan terhapus sampai sesuatu itu selesai.
Efek ini dimanfaatkan dengan baik dalam drama TV. Kebanyakan drama mengakhiri episode pada saat peristiwa penting terjadi. Kemudian menampilkan cuplikan episode berikutnya. Bagaimana perasaan penonton saat kisahnya sedang seru dan hampir rampung tiba-tiba dihentikan? Tentu mereka akan tidak sabar karena penasaran. Ingatan tentang drama tersebut akan bertahan lama di benak penonton karena episode yang membuat penasaran dihentikan saat belum selesai.
Efek ini juga sangat berguna di saat mengajar dan presentasi. Jangan bicarakan sekaligus saat ada bagian yang penting, dan berhentilah bernapas di tengah untuk secara sengaja menimbulkan rasa penasaran.
“Kini saatnya memperkenalkan apa yang Anda harapkan. Oh, sebentar.”
Maka orang-orang akan menegakkan telinga mereka dengan mata bersinar-sinar.
Saat memberikan kuliah yang panjang, respons para siswa adalah kuncinya. Bagilah kuliah menjadi beberapa bagian dan katakan seperti ini setiap kali muncul kesimpulan kecil.
“Sebelum saya menyimpulkan bagian ini, tunggu sebentar.”
Orang-orang akan merasa tegang karena penasaran ketika Anda memberi jeda sambil berkata “tunggu sebentar” dan akan lebih fokus dengan apa yang orang lain katakan. Sekarang jangan lagi biarkan orang-orang yang mendengarkan presentasi atau kuliah Anda merasa kenyang dengan sekali teguk. Apakah Anda sudah siap untuk melakukan sedikit tarik-ulur?
“We are number two. We try harder!”
Memancing Dengan Bingkai Positif Framing Effect
Ada seorang pria yang memelihara monyet di Dinasti Song.
Saat ia sudah tidak mampu lagi membelikan buah geluk karena kondisinya yang sedang sulit secara finansial, ia berkata seperti ini kepada para monyet.
“Mulai sekarang, aku hanya akan memberikan 3 butir geluk di pagi hari dan 4 butir di malam hari.”
Para monyet menolak. Sehingga ia kemudian berkata, “Kalau begitu 4 butir di pagi hari dan 3 butir di malam hari. Monyet-monyet itu langsung mengangguk senang.
Ini adalah kisah Zhao San-Mu Si yang cukup terkenal. Menunjukkan kebodohan monyet yang pada akhirnya menerima kondisi yang sama secara berbeda hanya karena urutannya diubah.
Sikap tidak rasional ini tidak hanya muncul pada monyet. Manusia pun sebenarnya tidak berbeda. Sebagai contoh, ada setengah gelas air di meja. Ada yang mengatakan secara negatif bahwa “airnya tinggal setengah,” dan ada yang mengatakan bahwa “airnya masih setengah”.
Berkaitan dengan ini, mari kita bicara tentang Framing Effect. Ini mengacu pada fenomena pengambilan keputusan dan interpretasi seseorang yang menjadi berbeda, sesuai dengan kerangka yang disajikan terhadap suatu masalah. “Frame” berarti bingkai; baik itu bingkai jendela, bingkai foto, maupun bingkai kacamata. Dalam psikologi, ini adalah “bingkai pikiran” untuk memandang sesuatu. Interpretasi dan penilaian terhadap suatu hal akan berbeda tergantung pada kerangka apa yang ada di dalam pikiran.
Framing Effect dicetuskan pada tahun 1981 oleh pengamat ekonomi perilaku AmosTversky dan Daniel Kahneman. Mereka melakukan sebuah eksperimen terhadap subjek dengan berkata seperti ini.
“Sekarang ini ada 600 orang yang terinfeksi penyakit mematikan. Pilihlah antara pengobatan A dan B berikut yang dapat menyelamatkan mereka.”
Subjek kemudian diberi penjelasan yang berbeda tentang metode pengobatan yang sebenarnya memiliki efek yang sama.
- “200 orang sudah selamat berkat pengobatan A.”
- “Peluang pasien yang dapat hidup dengan pengobatan
B adalah 33%, sedangkan yang gagal adalah 67%.”
Hasilnya, 72% subjek memilih pengobatan A dan 28% lainnya memilih pengobatan B. Mereka lebih menyukai metode pengobatan yang lebih dulu menimbulkan kesan positif. Oleh karena itu, jika Anda ingin membujuk seseorang, akan lebih efektif untuk menyajikan kerangka positifnya terlebih dahulu.
Misalkan Anda adalah seorang pemimpin tim yang harus mendapatkan persetujuan eksekutif dalam mengerjakan suatu proyek. Peluang sukses dan peluang gagal dari masing-masing proyek adalah 60% dan 40%. Anda akan mampu memperoleh lebih banyak persetujuan jika menyampaikan isinya dalam bingkai yang positif. Jadi, Anda tidak perlu menyinggung soal peluang gagalnya terlebih dulu.
“Peluang sukses proyek ini adalah 60%. Oleh karena itu, Anda bisa menyerahkannya kepada saya.”
Bagaimana jika Anda ingin mencalonkan diri dalam pemilihan wakil suatu badan atau perkumpulan, tetapi Anda selalu berada di posisi kedua? Anda bisa berkata dengan mengubah bingkainya secara positif.
“Saya selalu berada di posisi kedua. Itu sebabnya saya sangat tahu kompetensi apa yang dibutuhkan untuk memenangkan pemilihan. Untuk menjadi nomor satu, saya harus mendengarkan pendapat Anda dan memastikan itu diapresiasi. Oleh karena itu, saya akan bekerja berkali lipat lebih keras dengan segenap hati saya.”
Perusahaan rental mobil asal Amerika, Avis, cukup terkenal karena mengguncang pasar dengan iklannya yang berbunyi, “Kami nomor dua, tapi kami berusaha lebih keras!” Begitulah. Sebuah konten yang sama dapat memberikan hasil yang sangat berbeda, tergantung pada bingkai apa yang dipakai. Dahulukan cerita yang bagus dan hasil yang bagus dengan bingkai positif. Jika Anda ingin mendapatkan hati seseorang, saya sarankan untuk memanggilnya dengan ucapan yang positif.
“Saya sudah menyiapkan roti khusus untuk rapat hari ini.”
Bau Adalah Kunci Pembuka Hati Seseorang Delicious Smell Effect
“Sulit untuk berkomentar dengan bebas karena pemimpin tim terlalu keras.”
“Bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang sedang dingin gara-gara sebelumnya bertengkar?”
Dalam hidup, akan selalu ada orang yang tidak cocok dengan kita. Orang-orang yang membuat kaku dan tidak nyaman. Alangkah enaknya jika bisa menghindari mereka selamanya, tetapi itu tidak mudah. Kita telah berusaha mendekati mereka dengan berbagai metode komunikasi, tetapi sayangnya tidak berhasil.
Hal yang paling perlu dilakukan di saat seperti ini adalah komunikasi nonverbal. Kita tidak bisa hanya mengandalkan ucapan jika jarak dengan orang lain sulit dipersempit. Terutama dengan lawan jenis. Cobalah untuk mengusik lawan dengan bau.
Contohnya aroma feromon yang mampu memikat orang lain lebih dari sekadar paras yang indah. Bau adalah faktor yang mengingatkan akan perasaan dan bayangan yang terbentuk tentang lawan jenis. Anda tentu punya pengalaman seperti itu. Pengalaman ketika Anda memikirkan seorang lawan jenis lalu terbayang atau teringat aroma tertentu.
Aroma atau bau dapat meningkatkan hubungan, termasuk hubungan yang sedang retak, terutama jika Anda menggunakan aroma roti secara efektif. Ada yang disebut “Efek Bau Roti yang Lezat (Delicious Bread Smell Effect)”, yaitu sebuah kondisi psikologis ketika aroma roti panggang menyebabkan orang lain berperilaku lebih positif, ramah, dan altruistis.
Para peneliti di University of Southern Brittany, Perancis, melakukan eksperimen tentang pengaruh aroma roti terhadap seseorang. Para partisipan diminta menjatuhkan isi tas, setengah dari mereka di depan toko roti yang mengeluarkan aroma lezat, dan setengah lagi di depan toko pakaian yang mewah.
“Jatuhkan aksesoris, sarung tangan, atau kosmetik sambil berpura-pura sedang mengubek-ubek tas. Kemudian berting- kahlah seolah-olah Anda tidak menyadarinya.”
Sementara para subjek bertindak sesuai instruksi di dua tempat, peneliti memantau apakah orang yang lewat akan membantu atau mengabaikan mereka. Eksperimen ini diulang lebih dari 400 kali.
Hasilnya cukup menarik. 77% orang yang lewat di depan toko roti yang mengeluarkan bau enak mengambilkan barang dan hanya 52% orang yang lewat di depan toko pakaian yang membantu. Ini mengungkapkan bahwa aroma lezat merupakan media yang kuat untuk menggerakkan orang dalam membantu orang lain. Berdasarkan percobaan ini, para peneliti membuat kesimpulan seperti ini.
“Reseptor penciuman kita terhubung langsung dengan area otak yang disebut sistem limbik yang terkait erat dengan emosi. Bau juga berkontribusi dalam pembentukan dan penyimpanan memori. Kebanyakan orang memiliki pengalaman makan hingga kenyang sehingga ketika mereka mencium bau lezat, ingatan itu akan terbayang. Aroma roti yang lezat akan menimbulkan emosi positif dan berkembang menjadi tindakan baik.”
Efek bau yang mengarahkan perilaku manusia ini sudah digunakan secara aktif dalam pemasaran. Pusat perbelanjaan, restoran, toko buku, dan toko pakaian wanita memiliki aroma khas, yang membuat orang yang menciumnya merasa nyaman. Ini disebut scent marketing. Banyak toko yang menggunakan ini untuk meningkatkan penjualan.
Bagaimana kita bisa menggunakan efek bau ini? Salah satunya untuk meningkatkan hubungan dengan pemimpin tim yang keras. Sesekali belilah roti yang beraroma enak dan letakkan di pantri atau tempat yang dekat dengan kursi pemimpin tim. Selain rapat yang sifatnya formal, Anda juga bisa menyiapkan cemilan dan roti yang baru dipanggang. Makanan ringan akan menciptakan suasana rapat yang cair dan aroma roti akan membantu melunakkan sikap pemimpin tim yang keras. Anda bisa secara alami berkata seperti ini.
“Bos belakangan ini pasti sangat sibuk. Saya sudah menyiapkan skema baru untuk meningkatkan penjualan di kuartal depan. Apa Bos mau lihat?”
Begitu juga dengan orang yang bertengkar dengan Anda. Anda sendiri yang akan merasa tidak nyaman jika terus-menerus menghadapinya dengan kaku karena tidak senang. Cobalah untuk mengobrol dengannya dengan sajian roti beraroma segar di atas meja, atau bisa juga bertemu di toko roti. Bukalah pintu komunikasi dengan suasana yang dibuat nyaman seperti ini.
“Mari kita lupakan apa yang sebelumnya terjadi. Masih banyak hal yang harus kita kerjakan bersama. Jadi, mari kita singkirkan perasaan yang mengganggu dan mencari jalan untuk saling membantu.”
“Sekaranglah awal mula penderitaan. Namun, pada akhirnya semua akan teratasi.”
Optimisme Logis yang Berakar pada Kenyataan Stockdale Paradox
“Kamu bisa sukses kalau bersikap positif!”
“Mimpiku menjadi kenyataan karena aku percaya!”
“Keyakinan yang kuat menyebabkan keajaiban”
Seberapa meyakinkan hal itu? Rada masa lalu, yang berorientasi pada pertumbuhan, kata-kata ini menjadi kekuatan. Namun, saat ini orang tahu betapa tidak realistisnya slogan ini. Mereka telah merasakan sendiri bahwa itu hanyalah omong kosong.
Anak-anak muda yang mengalami keputusasaan karena tidak bisa memasuki dunia kerja, para pekerja yang harus mengajukan pensiun dini, orang-orang paruh baya yang tidak bisa membeli rumah meski sudah bekerja seumur hidup. Oleh karena itu, orang-orang telah lama berpaling dari harapan palsu tentang “bermimpi supaya terwujud”.
Para pekerja menggerutu seperti ini.
“Sudah berusaha keras, tetap saja tidak menjadi lebih baik. Pendapatan tidak seberapa, kerja sewaktu-waktu bisa diputus perusahaan, bermimpi untuk menikah pun tidak bisa.”
Anak muda mengeluh seperti ini.
“Kami bahkan tidak diberi kesempatan sejak awal. Bagaimana bisa ada masa depan? Kami adalah generasi yang ditinggalkan.”
Begitu juga dengan orang-orang paruh baya.
“Belum juga lima puluh tahun, sudah diberhentikan dari perusahaan. Padahal kebutuhan masih banyak, dari cicilan apartemen hingga biaya sekolah anak-anak…. Mau buka toko juga tidak mampu. Masa depanku benar-benar suram.”
Benarkah tidak ada harapan untuk mereka? Apakah kesuksesan, mimpi, dan visi adalah angan-angan kosong belaka? Tentu saja tidak. Bagi mereka yang pernah menghadapi kenyataan yang sulit, jelas bahwa optimisme untuk mengejar keberhasilan yang samar tidak akan berguna. Bagaimana mungkin harapan kosong bahwa “kita akan baik-baik saja” dapat menjadi kekuatan, padahal kenyataannya jelas-jelas terlihat sulit? Dibutuhkan sesuatu yang lain.
Mereka membutuhan “Paradoks Stockdale”, yakni keyakinan akan masa depan dengan tetap menerima kenyataan yang ada. Paradoks Stockdale mengacu pada “optimisme yang masuk akal”, yakni percaya bisa mencapai hasil yang baik di masa depan, sambil tetap menghadapi dan menerima kenyataan yang minim harapan serta berusaha mengatasinya.
Istilah ini disebutkan oleh pakar manajemen Jim Collins dalam bukunya Good to Great. Dalam buku ini, Jim Collins membagikan percakapannya dengan seorang perwira militer AS, James Stockdale. Stockdale pernah ditawan bersama rekan- rekannya oleh tentara Vietnam antara tahun 1965 sampai tahun 1973 saat Perang Vietnam. Selama itu banyak rekannya yang meninggal di penjara, sementara dia mampu bertahan hidup hingga kembali ke tanah kelahirannya.
Jim Collins bertanya kepadanya.
“Siapakah para prajurit yang tidak selamat?”
Jawabannya sungguh mengejutkan.
“Mereka yang optimis.”
Jim Collins tidak mengerti. Anda juga mungkin memiliki pertanyaan yang sama. “Bukankah optimisme justru menjadi kekuatan dalam situasi yang memupus asa?” Namun, ada alasan yang membuat mereka yang optimistis tidak bisa bertahan.
Para prajurit yang optimis memiliki harapan yang tipis bahwa mereka akan dilepaskan pada saat Natal. Namun, kenyataan yang kejam mengkhianati harapan ini, dan mereka tidak juga dibebaskan hingga Natal berlalu. Harapan yang berkali-kali patah ini memperdalam kesedihan para prajurit yang perlahan-lahan kehilangan hasrat untuk bertahan hidup. Semakin tinggi optimisme dan harapan mereka, semakin besar pula keputusasaan yang mereka rasakan. Pada akhirnya, para prajurit yang kehilangan api harapan itu juga kehilangan nyawa mereka. Di sisi lain, Stockdale memberitahukan rahasianya bertahan hidup.
“Saya sudah menyiapkan hati tidak akan dibebaskan pada saat Natal. Optimisme dengan menolak kenyataan merupakan hal yang sangat berbeda dengan mempertahankan optimisme sambil menghadapi kenyataan.”
Jika Anda seorang direktur di perusahaan yang sedang mengalami krisis, alih-alih memberikan pandangan yang tidak jelas, Anda bisa berkata seperti ini.
“Saya pikir ke depan akan banyak kesulitan yang datang. Tidak mudah untuk mengatasi ini, tetapi kita harus tetap menghadapi kenyataan dan berjuang keras untuk bertahan.”
Jika Anda seorang pimpinan tim yang sedang mengerjakan proyek yang sulit, alih-alih meyakinkan para staf dengan slogan kosong pasti berhasil, Anda bisa berkata seperti ini kepada mereka.
“Proyek kali ini mungkin tidak akan berhasil. Ini kenyataan yang pahit. Walaupun begitu, mari kita bersama-sama tetap berusaha semampu kita.”
Jika Anda mempunyai anak yang belum bekerja, jangan terlalu optimis tanpa dasar dan jangan juga berbicara secara negatif, tapi tepuklah mereka sambil berkata seperti ini.
“Setiap orang bisa gagal. Jadi, jangan terlalu patah semangat. Mulai sekarang, persiapkan apa-apa yang kurang sehingga ketika nanti kesempatan datang, kamu sudah siap.”
Optimisme yang berpijak pada kenyataan akan lebih menguatkan dibandingkan harapan dan optimisme yang semu. Jika Anda ingin bermimpi, periksa dan berdiri tegaklah di tempat Anda berdiri sekarang. Seberat apa pun kenyataan tersebut.
BAB 4
TEKNIK KOMUNIKASI PSIKOLOGIS UNTUK MENAWAN LAWAN JENIS
“Kenapa pria sesempurna itu tidak populer?”
Ketika Cela Menjadi Daya Tarik Pratfall Effect
“Mengapa para wanita tidak menyukai saya?”
Seorang pria berusia pertengahan 30-an meminta konseling.
Dengan tinggi lebih dari 180 cm dan tampang menarik, dia termasuk apa yang disebut hot guy. Selain itu, dia lulusan universitas bergengsi di luar negeri dan bekerja di perusahaan keuangan, seorang pria yang memiliki semua prasyarat yang diinginkan wanita saat ini. Lalu apa masalahnya?
“Apakah Anda sering mengalami masalah dengan hubungan Anda dengan orang lain?”
“Tidak pernah. Saya bahkan pernah ditunjuk sebagai pemimpin BEM karena saya punya jiwa pemimpin untuk mengarahkan banyak orang.”
“Kalau begitu…. Apakah Anda rumit atau sensitif?”
“Tidak, saya lumayan sering mendengar bahwa kepribadian saya baik.”
Sungguh aneh. Setelah satu jam lebih mengobrol dengannya, saya bisa tahu bahwa kemampuan bicaranya juga tidak biasa, la bisa menyambung omongan saya sambil menatap tajam dengan gestur yang tepat. Sejenak saya merasa bahwa dia sempurna dari segala sisi. Dia seperti mengejar kesempurnaan dalam segala hal. Baik soal belajar, berolahraga, maupun berkomunikasi. Dia terlihat seperti orang yang baru akan puas kalau semua hal dalam kondisi terbaik.
Pada saat itulah saya menyadari bahwa itulah permasalahannya. Dia terlalu sempurna sehingga itu menjadi masalah. Orang-orang menganggap orang yang terlalu sempurna itu merepotkan. Mereka lebih suka orang dengan sedikit cela. Ini bisa dijelaskan dengan “Efek Kesalahan (Pratfall Effect)”, sebuah teori bahwa kesalahan orang yang dingin atau sulit didekati justru disenangi dan meningkatkan daya tarik.
Psikolog Amerika, Kathy Aaronson, melakukan sebuah percobaan yang menarik. Dia mewawancarai dua orang peserta dan mencatat informasinya untuk diberikan lebih dulu kepada para subjek. Setelah itu, ia mengadakan kuis untuk kedua peserta. Ini untuk memastikan para subjek merasa lebih suka kepada siapa.
Kathy Aaronson telah mewawancarai A dan B sebelum kuis. Pada saat itu, A menjawab dengan sempurna, sedangkan B membuat kesalahan dengan menumpahkan kopi. Kemudian acara kuis dimulai. Para subjek bersorak sambil bertepuk tangan lebih kencang ketika peserta B, yang membuat kesalahan dengan menumpahkan kopi, menebak jawaban dengan benar.
Kathy Aaronson menjabarkan hasil penelitian seperti ini,
“Cela atau kesalahan seseorang bisa menjadi faktor daya tarik. Sementara orang yang terlalu sempurna tanpa cela atau kesalahan malah kurang memberikan daya tarik.”
Ini tidak berarti bahwa Anda harus membuat banyak kesalahan untuk membuat orang semakin tertarik pada Anda. Dengan keadaan yang hampir sempurna, memperlihatkan sedikit cela atau kesalahan akan membuat Anda lebih menarik.
Sekarang siapakah di antara keempat tipe berikut yang kira-kira paling disukai?
- A : Sempurna, tapi berbuat salah
- B : Sempurna dan tidak punya kesalahan
- C : Biasa saja tapi berbuat salah
- D : Biasa saja dan tidak punya kesalahan
A adalah orang yang paling disukai. Untuk orang yang sempurna, cela dan kesalahan justru menjadi poin yang cukup menarik. Dengan kata lain, ini tidak berlaku untuk orang yang terbiasa melakukan kesalahan dan ceroboh dalam segala hal.
Mantan presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, justru memperoleh dukungan setelah skandal seksualnya dengan Lewinsky. Rakyat justru mengelilinginya setelah melihat cela pada diri seorang presiden yang tampak sempurna.
Setiap orang ingin terlihat sempurna di depan lawan jenis yang disukainya. Dengan begitu, mereka bisa mengalahkan pesaingnya agar terpilih. Namun, orang yang sempurna tanpa cacat justru membuat orang lain sesak napas. Jika Anda ingin menunjukkan daya tarik Anda yang sebenarnya kepada lawan jenis, cobalah untuk sesekali memperlihatkan cela pada diri Anda. Anda bisa menyelipkan cerita tentang kesalahan yang pernah Anda buat.
- A : “Saya juga pernah membuat kesalahan yang sama sebelumnya.”
- B : “Oh, saya tidak pernah mengira orang seperti Anda bisa membuat kesalahan seperti itu juga.”
- A : “Tentu saja. Saya ini orang yang cukup ceroboh.
Wahai pria sempurna yang memancarkan keindahannya yang melimpah ruah, Anda harus memperlihatkan sedikit cela kepada lawan bicara Anda untuk membuatnya lebih dekat. Anda boleh berusaha untuk menjadi sempurna, tetapi menyiapkan beberapa kesalahan taktis juga ada baiknya.
“Kalian tidak bisa memiliki gambar ketiga.”
Rahasia Cinta yang Membara Karena Rintangan Romeo & Juliet Effect
Apakah Anda memimpikan cinta yang tulus? Anda rela melepaskan segalanya demi cinta? Akan tetapi, cinta yang menyentuh yang sering muncul dalam drama atau film, sulit kita temukan di dunia nyata. Mengapa?
Seorang remaja normal mungkin telah berkali-kali mencintai. Seorang jomlo abadi pun pasti pernah satu-dua kali merasakan cinta. Tidakkah sebagian besar alasan kita tidak bisa mencintai secara berapi-api adalah karena kita terlalu mudah bertemu orang yang dicintai? Seperti biasa, kalaupun Anda berpisah dengan gandengan Anda sekarang, Anda bisa segera menemukan orang lain. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk memberikan seluruh diri Anda kepada orang yang Anda cintai sekarang. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan jika Anda ingin memiliki cinta yang membara dan kuat kepada seseorang yang baru mulai tumbuh benih-benih cinta?
Pernahkah Anda mendengar “Efek Romeo & Juliet (Romeo & Juliet Effect)”? Psikolog Driscoll dengan rekan-rekannya di University of Colorado mempelajari dampak “kekuatan cinta”. Penelitian ini untuk mengungkap fenomena psikologis perasaan cinta yang menjadi lebih kuat ketika amat ditentang oleh orangtua dan sekelilingnya. Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa semakin besar tentangan dari orangtua, semakin dalam cinta keduanya.
Demikianlah ciri khas cinta antara pria dan wanita yang justru menguat saat menemui penolakan dari sekitar atau menghadapi rintangan. Hal ini juga dibuktikan dalam indeks percintaan dari psikolog sosial Rubin. Menurut penelitiannya, pasangan yang dihadapkan dengan tentangan dari sekitar menunjukkan indeks emosi cinta yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak.
Ada lagi percobaan psikologi yang menarik. Seorang psikolog membagikan sepuluh gambar kepada para siswa, la meminta mereka untuk menyusunnya sesuai keinginan dan berkata akan memberikan salah satu gambar kepada mereka. Setelah para siswa menyusun gambar, sang psikolog berkata seperti ini.
“Anda tidak dapat memiliki gambar ketiga.”
Kemudian ia meminta mereka menyusunnya lagi dan berkata akan memberikan salah satunya kepada mereka. Ternyata gambar ketiga dalam susunan pertama ditempatkan di bagian paling depan yang mencolok mata. Mereka menjadi lebih senang dengan gambar yang tidak bisa mereka miliki.
Ilmu psikologi menguraikan bahwa fenomena ini timbul sebagai reaksi terhadap perampasan kehendak bebas. Manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih atau tidak memilih sesuatu, yang akan menimbulkan perlawanan jika dirampas.
Efek Romeo dan Juliet dapat membantu jika digunakan secara tepat dalam hubungan percintaan yang nyata. Efek ini berguna ketika Anda yakin saling mencintai, tetapi hati kekasih Anda tampak tidak membara. Apabila Anda merasa bahwa hubungan Anda berdua merenggang dan tidak ada rasa gugup saat bertemu dengan lawan jenis lainnya, Anda bisa berkata seperti ini.
“Maaf. Sepertinya orangtuaku tidak menyukai hubungan kita. Tapi jangan khawatir. Bagiku cuma ada kamu.”
Atau jika Anda merasa bahwa ia seperti menggampangkan dan mengabaikan Anda, Anda bisa berkata seperti ini.
“Sebenarnya ibuku tidak terlalu suka dengan gayamu. Padahal bagiku, kamu adalah orang paling keren di dunia.”
Romansa yang terlalu datar akan dijalani dengan setengah hati. Ingatlah bahwa terkadang rintangan atau konflik kecil yang menimbulkan ketegangan dapat menguatkan hubungan sepasang kekasih.
“Apa yang sedang laris belakangan ini?”
Memberikan Suara Karena Pilihan Mayoritas The Law of Social Proof
“Apa yang harus saya lakukan saat menembak wanita yang saya sukai? Pekerjaan dan tampang saya lumayan, ekonomi mapan. Tetapi, saya selalu gagal setiap kali menembak.”
Seorang pria pekerja kantoran yang bertemu wanita yang ia sukai pada kencan buta berkonsultasi tentang ini. Selama percakapan singkat, saya merasa bahwa ia adalah pria yang sangat suka membual, la terus menceritakan hal-hal yang tidak ditanyakan dengan konklusi bahwa ia adalah seorangyang hebat. Pria seperti ini kemungkinan besar kurang berpengalaman soal cinta. Tidak ada wanita yang akan menyukai bualannya yang berlebihan.
Saat Anda menyatakan perasaan pada wanita yang Anda sukai, sebaiknya sampaikan bukti yang membuat pesona Anda lebih terlihat daripada membual dengan mulut Anda sendiri. Mari kita lihat dua contoh berikut:
- A : “Saya lulus dari kampus bergengsi S di luar negeri dan saat ini bekerja di perusahaan G. Gaji saya cukup tinggi dan akan segera dipromosikan. Terimalah saya jadi pacarmu.”
- B : “Belakangan ini saya didekati beberapa wanita. Ada yang sms, ada menghubungi lewat media sosial. Tapi, aku maunya sama kamu.”
Sekilas tidak mudah untuk mengatakan mana dari A dan B yang efektif. Namun berdasarkan “Hukum Pembuktian Sosial (The Law of Social Proof)”, B lebih efektif. Hukum pembuktian sosial mengadopsi pilihan mayoritas sebagai bukti untuk mendukung pemikiran dan tindakan seseorang, dan dikenal secara luas melalui buku Influence: The Psychology of Persuasion karya Robert Cialdini.
Hukum yang mengikuti pilihan mayoritas, benarkah ini berlaku di era sekarang di mana “aku berdiri untuk diriku”? Mungkin ada orang-orang yang beranggapan miring soal ini, tapi nyatanya banyak kasus yang membuktikannya.
Kita ambil contoh pengemis di pinggir jalan. Mana yang lebih banyak mendapatkan uang, antara yang meletakkan mangkuk kosong di depannya atau yang menaruh beberapa koin di dalam mangkuk? Tentu saja yang terakhir. Orang-orang yang lewat akan berpikir bahwa orang lain telah lebih dulu menyumbang saat melihat koin di mangkuk, lalu diam-diam menirunya.
Begitu juga dengan program hiburan. Dalam program hiburan, rekaman suara tawa sering terdengar sebagai latar belakang. Ini dimaksudkan sebagai bukti agar penonton berpikir bahwa acara tersebut menarik dan memiliki dampak membuat mereka ikut tertawa.
Lihatlah program TV untuk mengumpulkan donasi. Jarang kita temui pemandu acara yang mengeluhkan soal kewajiban donasi sambil marah-marah. Sebaliknya, ia justru berbicara dengan efek persuasi yang sangat baik.
“Banyak orang sudah menyumbang. Direktur J dari perusahaan besar, Bapak Walikota X dan para stafnya, persatuan ibu- ibu daerah S Provinsi Gyeonggi, dan para siswa SD X….”
Para penonton yang menyaksikan siaran tersebut akan mengetahui bahwa mayoritas orang sudah menyumbang dan berpikir bahwa ia juga harus bergabung dengan mereka, la menceburkan dirinya sendiri ke dalam parade para donatur.
Apabila Anda menyukai seorang wanita dan ingin agar dia memilih Anda, jangan buang-buang waktu dengan membangga- banggakan diri sendiri tanpa guna. Akan lebih efektif jika Anda memberitahunya secara tidak langsung bahwa wanita-wanita lain memilih Anda, la mungkin akan memperlihatkan reaksi seperti ini.
“Pria sekeren apa pun, percuma kalau dia suka selingkuh. Pria ini terlihat mapan dan jujur. Pasti ada alasannya kalau para wanita menyukainya. Mungkin lebih baik aku mengikuti penilaian mereka.”
Tentu saja berbicara dengan hukum pembuktian sosial kepada pria juga efektif bagi para wanita. Anggaplah ada seorang wanita yang ingin menunjukkan daya tarik luarnya. “Aku pernah ikut kontes kecantikan C. Aku terlihat mirip artis K, kan?” Alih- alih mengucapkan ini, sebaiknya katakan seperti berikut.
“Banyak yang bertanya apakah aku pernah ikut sebuah kontes kecantikan. Ada juga yang mengatakan bahwa aku mirip selebriti K. Jadi, terkadang aku merasa tersipu.”
Mereka yang membangga-banggakan diri sendiri umumnya tidak akan disukai. Terlepas dari gender, tidak ada yang suka dengan orang sombong. Akan lebih efektif bila kita memancing dengan bukti yang menunjukkan bahwa kita adalah orang yang cukup baik. Hal ini dikarenakan orang-orang memiliki mental menerima saja apa yang disukai dan diakui orang lain.
“Tolong tunjukkan yang paling mahal di sini.”
Kadang Kala Perbandingan Bisa Menjadi Obat Contrast Effect
“Aku tidak tahu mana yang bagus, jadi aku susah payah memilihnya.”
“Bagaimana? Kamu suka acara yang kusiapkan untukmu?”
Saling memberikan hadiah dan menyiapkan acara biasa terjadi di antara sepasang kekasih. Hal ini untuk meyakinkan dan menyentuh hati pasangan sehingga hubungan satu sama lain menjadi lebih kuat.
Masalahnya adalah kita tidak selalu bisa memberikan hadiah dan menyiapkan acara yang memuaskan pasangan. Di awal-awal percintaan, kita berusaha melakukan segalanya demi orang yang dicintai, sekalipun harus mengabaikan keluarga. Namun setelah masa itu berlalu, situasi yang sebenarnya mulai tampak di mata.
Jadi, di mana kita bisa menemukan solusinya? Dalam hal ini, kita bisa menggunakan Efek Kontras (Contrast Effect). Efek Kontras merujuk pada kesalahan dalam menilai secara berbeda saat diperbandingkan, padahal nilainya sama. Untuk membantu Anda memahaminya, mari kita lakukan percobaan berikut.
Biarkan tangan kanan Anda pada suhu kamar, sementara tangan kiri Anda direndam dalam air es. Setelah 20 detik, masukkan kedua tangan Anda ke dalam air hangat pada saat yang bersamaan. Bagaimana rasanya? Reaksi apa yang timbul pada kedua tangan Anda?
Seperti yang bisa Anda bayangkan, tangan kanan terasa hangat, tetapi tangan kiri terasa panas. Hal ini disebabkan oleh efek kontras pada tangan kiri karena tadinya berada di dalam air es sehingga merasa air hangat lebih panas daripada sebenarnya.
Efek ini tampak jelas dalam wawancara berkelompok. Jika spesifikasi orang yang diwawancarai dalam kelompok sangat baik, orang yang ada di sebelahnya akan dinilai lebih rendah daripada nilai sebenarnya. Itulah sebabnya orang tidak ingin duduk di samping seseorang yang lebih tampan darinya saat mengikuti grup kencan buta.
Efek Kontras banyak digunakan dalam penjualan. Kita ambil contoh seorang pengunjung mal yang masuk ke sebuah toko tas tangan ternama la masuk karena ingin membeli jika ada barang yang diobral. Jika setelah berkeliling ternyata tidak ada barang yang dijual murah, ia akan langsung keluar, tetapi nyatanya itu tidak terjadi. Ada metode penjualan yang digunakan oleh toko barang mewah untuk menggaet pelanggan.
“Ibu lihat tas yang ada di tengah sini? Harganya 8 juta won. Tapi, jangan terlalu khawatir. Tas di sebelahnya cuma 2 juta won. Sangat murah, bukan?”
Dengan membandingkannya dengan tas yang mahal, tas yang ingin dijual jadi tampak murah. Dalam hal ini, kemungkinan besar sang pelanggan tidak akan terpikir untuk meminta diskon.
Efek Kontras juga bisa digunakan saat Anda ingin membelikan hadiah untuk kekasih Anda, tetapi kondisi kantong tidak mendukung. Mulailah dengan mencari toko yang relatif mahal untuk barang yang ingin Anda hadiahkan. Ingat, penampilan luar toko harus mewah. Raih tangan pacar Anda dan bawa ia ke sana lalu katakan,
“Apa yang paling mahal di sini? Hari ini adalah hari yang istimewa, jadi saya ingin memberikan hadiah untuk pacar saya. Tolong pilihkan yang terbaik.”
Karyawan toko pasti akan merekomendasikan barang paling mahal di toko tersebut. Di saat itu, kekasih Anda akan memasang ekspresi puas setelah melihat label harga yang melekat pada barang-barang yang lain.
Begitu pula untuk para wanita yang ingin membuatkan acara tukar cincin untuk kekasihnya, tetapi kondisi finansial kurang baik. Katakanlah Anda menghadiahkan cincin perak, bukan emas. Carilah toko yang menjadikan cincin perak sebagai produk utamanya dan pilih toko yang tampilan luarnya berkelas. Setelah itu, datangilah bersama kekasih Anda dan katakan seperti ini.
“Tolong tunjukkan cincin yang paling mahal di sini.”
Kekasih Anda pasti akan menunjukkan wajah sangat puas setelah membandingkannya dengan harga cincin lain.
“Aku tidak bisa berkata-kata murni karena dirimu”
Mulut Kaku di Depan Orang yang Disukai Tip-of-the-tongue Phenomenon
“Bagaimana, dong? Setiap kali berada di depannya, badanku serasa membeku.”
“Ada orang yang saya suka, tapi saya tidak bisa berbicara dengannya.”
“Saya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.”
Anak muda yang sedang jatuh cinta kerap kali mengungkapkan kegelisahan seperti ini. Mereka meminta bantuan karena tidak tahu bagaimana cara berbicara dalam kondisi ini. Gugup dan berdebar-debar di depan orang yang dicintai merupakan hal yang wajar. Debaran itu juga merupakan protokol yang harus dilewati untuk mencintai seseorang. Namun, ada orang-orang yang mengalaminya secara berlebihan.
Mereka yang mulutnya terkunci dan tidak bisa mengatakan sepatah kata pun di depan orang yang mereka cintai. Tidak ada yang terlintas tentang apa yang harus dikatakan karena pikiran mereka seolah-olah kosong. Selama beberapa detik, mereka tidak bisa berkata-kata. Ini tidak hanya membuat Anda kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga bisa menimbulkan kesalahpahaman.
“Dia kenapa, sih? Dia tidak suka padaku? Kenapa dia seperti tidak mau bicara denganku?”
“Dia memang jarang bicara atau tidak ada yang mau dibicarakan, sih? Menyebalkan….”
Sebenarnya, tidak dapat berbicara dengan baik di depan orang yang disukai merupakan fenomena psikologis akibat rasa tegang. Ini disebut “Fenomena Ujung Lidah (Tip-of-the- tongue Phenomenon)”__, di mana kata-kata hanya menggantung di ujung lidah dan tidak keluar dari mulut karena tegang. Istilah ini dibuat oleh Brown dan McNeil dari Harvard University pada tahun 1966.
Brown dan McNeil melakukan percobaan yang menarik terkait ini. Mereka meminta subjek untuk menghafalkan katakata asing yang mereka berikan. Setelah beberapa waktu, mereka menguji ingatan subjek.
“Jelaskan arti dari kata ini.”
“Sebutkan kata yang memiliki arti bla bla bla.”
PSra subjek kebingungan. Sekilas sebagian besar subjek tampak tidak bisa mengingat arti dari setiap kata sepenuhnya. Namun, tidak demikian sebenarnya. Mereka kompak berkata seperti ini.
“Kata ini berhubungan dengan manusia.”
“Huruf pertama adalah L.”
Begitulah. Mereka bukan tidak bisa mengingat arti dari kata-kata itu, melainkan kesulitan mengeluarkan apa yang diingatnya. Ketika Brown dan McNeil memberikan petunjuk sederhana, mereka langsung ingat arti dari kata tersebut. Mereka hanya mengingat sebagian arti dan ejaannya secara samar-samar. Berdasarkan ini, Brown dan McNeil merangkumnya seperti berikut.
“Mengingat informasi yang sebenarnya dan mengetahui informasi yang diingat merupakan masalah tersendiri. Artinya, informasi tidak hilang sepenuhnya dari kepala hanya karena kita tidak ingat.”
Fenomena ujung lidah tidak hanya terjadi di depan orang yang disukai, tetapi juga sering terjadi ketika wawancara, presentasi, atau pertemuan penting. Alasan utama mengapa kita tidak bisa mengeluarkan informasi yang tersimpan di dalam kepala lewat mulut adalah karena tekanan psikologis akibat rasa tegang. Ketegangan yang tepat dapat membantu berbicara dengan tanggap, tetapi jika berlebihan maka dapat menyebabkan gagap atau komunikasi tidak berjalan lancar.
Mari kita kembali ke masalah kencan. Salah satu karakteristik orang yang tidak pandai berkencan adalah mereka tidak bisa berbicara di depan orang yang mereka sukai. Bagaimana cara mengatasi masalah ini? Diperlukan upaya sadar untuk mengeluarkan kata-kata yang melayang-layang di kepala, pikiran, dan mulut.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui bahwa Anda gemetaran di depan orang yang dicintai. Terima keadaan ini apa adanya dan jangan takut untuk menunjukkannya kepada orang tersebut.
“Emm, jadi… maaf. Saya agak gugup.”
“Saya baru pertama kali ke sini…. Sa, saya bingung harus bicara apa.”
Bagaimana reaksi orang ketika Anda mengakui keadaan Anda? Sebagian besar akan mencoba untuk merangkul Anda.
Mereka tidak bisa mengabaikan perasaan orang yang terlihat gugup di depannya. Apalagi jika itu adalah pertemuan pertama.
“Apakah dia gugup karena aku?”, “Apakah dia gemetaran karena suka padaku?”, pikiran-pikiran seperti ini akan membuat mereka lebih tertarik. Mereka juga akan menemukan bahwa orang tersebut berhati tulus. Oleh karena itu, tenangkan diri Anda. Membuka percakapan dengan menerima bahwa diri gemetaran dan grogi, lalu mengakuinya secara lembut juga dapat memberikan hasil yang baik.
“Mungkin kita pernah bertemu di seminar minggu lalu?”
Teknik Merayu Tanpa Mencolok Deja-vu
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Mm, wajah Anda sangat familiar. Seperti pernah lihat di suatu tempat.”
Mengatakan ini pada lawan jenis yang baru Anda temui merupakan metode yang mudah ditebak, bukan? Namun, cara ini ternyata sangat efektif.
Berbagai teknik komunikasi yang berhubungan dengan trik atau cara mengobrol dengan lawan jenis sudah banyak diperkenalkan. Namun, kebanyakan tidak memiliki dasar. Kalimat yang paling menarik bagi lawan jenis yang baru ditemui adalah “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”. Tidak masalah apakah Anda benar-benar pernah bertemu dengannya atau tidak.
Kalimat ini diam-diam akan merangsang c/eja-vu yang sering dialami orang-orang. Deja-vu adalah fenomena psikologis seperti pernah melihat atau mengalami, meskipun sebenarnya itu adalah pengalaman pertama. Orang pertama yang membahas perihal ini secara ilmiah adalah seorang ilmuwan Prancis bernama Florance Arnaud. Sementara istilah deja-vu pertama kali digunakan oleh Emile Boirac.
Fenomena deja-vu dapat dijelaskan dengan dua cara. Pertama, dengan menemukan penyebabnya di dalam ingatan. Ketika seseorang mengalami sesuatu, dia tidak mengingat semua detailnya, melainkan hanya sebagian khusus dan perasaannya secara keseluruhan. Kemudian, sesuatu yang baru pertama kali dialami terkadang selaras dengan sebagian ingatan yang tersimpan di dalam memori. Ini menghilangkan kontras detail antara pengalaman saat ini dan ingatan yang ada. Akibatnya, kita akan memiliki ilusi seperti pernah mengalaminya meski sebenarnya itu baru pertama kalinya.
Kedua, dengan menemukan penyebabnya dari struktur mata. Mata seseorang rata-rata terpisah sekitar 6 cm. Oleh karena itu, ketika Anda melihat objek dengan memutar kepala Anda ke satu arah, terdapat selisih waktu antara input informasi visual ke mata kiri dan mata kanan. Jika selisih tersebut lebih besar dari 0,025 detik, Anda akan mengalami ilusi seperti pernah melihat sebelumnya.
Banyak orang mengalami fenomena ini. Merasa pernah mengunjungi sebuah tempat atau bangunan, padahal baru pertama kali ke sana. Begitu juga dengan sebuah situasi atau peristiwa yang baru pertama kali dialami, tetapi mengira seperti pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya. Hal yang sama juga berlaku ketika pertama kali bertemu seseorang. Terkadang Anda akan merasa seperti pernah bertemu dengan orang tersebut di suatu tempat.
Para psikolog secara konsisten berpendapat bahwa deja-vu sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan masa lalu. Namun di Korea, ada kecenderungan untuk mengaitkan fenomena ini dengan kehidupan sebelumnya. Contohnya para budak
cinta yang kerap membawa-bawa “kehidupan sebelumnya” untuk menekankan makna sebuah pertemuan.
“Sepertinya di kehidupan yang lalu kita sudah punya hubungan.”
Salah satu alasannya adalah karena mereka juga terkadang ingin memberikan makna tentang “pentingnya” cinta. Mereka merasa itu seperti takdir yang tidak dapat dihindari sehingga jatuh terperangkap lebih dalam.
Jadi, jika Anda ingin mencuri hati orang yang disukai, Anda dapat memanfaatkan fenomena deja-vu ini. Saat orang tersebut mendengar kalimat ini, tanpa sadar dia pun mungkin akan terjatuh ke dalam “esensi kehidupan sebelumnya”.
“Apa kita pernah bertemu?”
“Sepertinya baru kali ini kita bertemu.”
“Mungkin hari Kamis lalu Anda datang ke seminar?”
“Tidak.”
“Ah, maaf. Wajah Anda tampak tidak asing… seperti pernah lihat di mana.”
Cobalah untuk mengucapkan kalimat seperti ini senatural mungkin seperti benar-benar sedang meraba-raba ingatan, tanpa membuat orang bergidik. Mungkin saja itu adalah jalan untuk menemukan kekasih yang selama ini Anda cari.
“Aku terpesona pada otakmu, bukan ototmu.”
Obrolan Cerdas yang Menimbulkan Daya Tarik Seksual Sapiosexuality
Lee Ha Nui, Lee Sang Yoon, Shin Ah Young, Jun Hyun Moo, Park Kyung….
Mereka adalah artis, penyanyi, dan MC yang sedang hits belakangan ini. Apa kesamaan mereka? Otak yang seksi. Istilah sekarang menyebut mereka cowok atau cewek berotak seksi.
Banyak orang memperhatikan bentuk tubuh dan wajah mereka untuk memancing dan menunjukkan daya tarik kepada lawan jenis. Namun, daya tarik intelektual memiliki kekuatan yang melebihi keduanya. Dengan kata lain, menarik hati lawan jenis tidak cukup hanya dengan menumbuhkan dada atau membentuk bokong yang seksi.
Dipuji karena bentuk tubuh yang indah kini sudah kuno. Pujian terbaik yang ingin diterima dari lawan jenis kini sudah berubah.
“Anda kok bisa secerdas itu?”
Ada yang mengatakan bahwa itu hanyalah kedok di permukaan, padahal di dalam hatinya orang-orang masih mementingkan kemolekan tubuh lawan jenisnya. Benarkah demikian? Jika pertanyaannya adalah “Apakah otak dan keseksian tidak saling berkorelasi?” maka jawabannya adalah “Tidak”. Pernahkah Anda mendengar tentang Sapioseksualitas (Sapiosexua/ity)? Ini mengacu pada fenomena ketertarikan seksual atau kesenangan seksual terhadap kecerdasan seseorang.
New York Times melaporkan bahwa sapiosexuality muncul sebagai orientasi seksual baru sambil memperkenalkan akun Instagram @HotDudesReading. Akun ini mengunggah foto-foto pria yang sedang membaca buku di berbagai tempat di New York dan menerbitkannya dalam bentuk buku dan kalender. Ini menegaskan bahwa iklan tentang “pria yang membaca buku itu seksi” sesuai dengan kenyataan.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Prof. Gignac dari University of Western Australia melakukan survei terhadap 383 pria dan wanita dewasa berusia 18-35 tahun. Mereka ditanya tentang karakteristik apa yang utama dari kekasih mereka dan apa yang membuatnya menarik. Hasilnya, sebagian besar subjek berharap pasangan mereka orang yang cerdas. Sebagian (18%) dari rentang usia 18 hingga 35 tahun diketahui merupakan sapioseksual, yang bergairah secara seksual karena kecerdasan.
Apakah Anda ingin menunjukkan daya tarik seksual kepada lawan jenis? Otot dan bentuk tubuh S-line memang bagus, tetapi bagaimana jika Anda juga mencoba untuk menunjukkan bahwa Anda seorang yang cerdas? Anda bisa tiba lebih dulu di tempat pertemuan untuk membaca buku atau Anda juga bisa memilih toko buku sebagai tempat pertemuan.
Tentu Anda juga harus berupaya secara nyata untuk meningkatkan wawasan Anda. Anda juga perlu meluangkan waktu untuk melatih kekuatan otak sebagaimana Anda menghabiskan waktu di pusat kebugaran untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal. Membaca adalah hal yang mendasar, dan habiskan lebih banyak waktu Anda untuk berpikir sendiri. Tertarik pada hal-hal yang terjadi di dunia, mencari konten yang berkualitas, atau mengunjungi seminar dan pameran, juga akan membantu.
Cobalah percakapan semacam ini ketika Anda berkencan atau pergi ke restoran dengan lawan jenis yang Anda sukai.
“Sudah nonton film Coco? Saya sangat menikmatinya karena pada dasarnya saya suka Frida Carlo. Ada….”
“Bibimbap itu sebenarnya tidak ada yang spesial, tapi kok rasanya enak, ya? Asal-usulnya juga cukup beragam. Apa Anda tahu?”
“Belakangan ini cuacanya sangat bagus, jadi saya sering berjalan-jalan setelah makan siang. Di belakang kantor saya ada salah satu dari benteng tua Han Yang Doseong. Sewaktu benteng itu dibangun…”
Tidak perlu membanggakan atau berlagak dengan pengetahuan yang hebat. Hindari isu-isu sensitif, seperti politik, agama, dan sosial. Arahkan pada percakapan yang menyenangkan perihal pengetahuan umum dan budaya. Intinya adalah percakapan “ringan”. Terlalu sok pintar atau menggurui hanya akan membuat orang menjadi antipati terhadap Anda. Menunjukkan sedikit pengetahuan umum dan budaya agar percakapan kecil terus berlanjut saja, sudah cukup untuk menarik perhatian orang lain.
BAB 5
TEKNIK KOMUNIKASI PSIKOLOGIS UNTUK MEMBUKA DOMPET
“Produk ini pernah dipakai oleh Kim Nam Joo, lho”
Merangsang Secara Diam-Diam Keinginan untuk Menyerupai Panoplie Effect
“Komentar apa yang harus saya lontarkan ketika menjual produk mahal?”
“Adakah kata-kata khusus untuk memikat pelanggan ketika mempromosikan barang mewah?”
Pertanyaan ini paling sering diajukan oleh para calon pembawa acara. Selama bertahun-tahun, saya telah mengajarkan teknik suara dan percakapan persuasif untuk pembawa acara. Namun, hal yang paling ingin diketahui oleh mereka adalah apa yang harus dikatakan agar dapat menjual banyak barang mahal.
Inilah yang saya tekankan kepada mereka yang mengajukan pertanyaan ini.
“Orang-orang memiliki keinginan untuk meningkatkan martabat. Mereka memiliki kecenderungan untuk memenuhinya dengan membeli barang-barang mewah. Oleh karena itu, menjual barang mahal dengan menyebut nama selebritas atau artis terkenal yang menggunakannya akan sangat efektif. Katakanlah Anda menjual barang-barang Hermes, Dolce & Gabbana, atau Stuart Weitzman. Mengingatkan bahwa itu adalah produk atau karya desainer terkenal dunia juga tidak masalah, tetapi ada cara yang lebih efektif. Yakni menyebutkan bahwa barang- barang tersebut dipakai oleh Kim Nam-joo dalam drama populer Misty. Pembeli akan menemukan kepuasan karena bisa mengidentifikasi dirinya dengan citra cerdas dan elegan Kim Nam-joo melalui produk tersebut.”
Ini juga yang membuat Yoona mampu membuat barang laku setelah kemunculannya dalam acara Hyori’s Homestay 1. Dia hadir sebagai mahasiswa paruh waktu yang memakai sweatshirt, long padding putih, dan menggunakan cetakan wafel secara natural. Produk-produk tersebut langsung menjadi populer dan laris manis.
Apakah itu karena pemirsa baru mengenal sweatshirt, long padding putih, dan cetakan wafel? Tidak. Mereka sudah mengenalnya, tetapi tidak terlalu tertarik. Lalu saat melihat Yoona memakainya, mereka baru merasa tertarik. Mungkin itu sama seperti psikologi rumput tetangga terlihat lebih hijau.
Ini adalah “Efek Panoplie”. Suatu kondisi psikologis yang memercayai bahwa ketika Anda membeli produk tertentu, maka Anda termasuk ke dalam kelompok atau kelas yang menggunakannya. Efek Panoplie pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, pada tahun 1980-an dalam bukunya Masyarakat Konsumsi, yang menunjukkan bahwa dunia berubah setelah Perang Dunia II, dari masyarakat produktif menjadi masyarakat konsumtif. Dia berkata,
“Ketika seorang konsumen membel i sesuatu, ia merefleksikan sosok ideal pada dirinya. Jadi, konsumen yang membeli barang- barang mewah sebenarnya sedang mengidentifikasi dirinya dengan masyarakat kelas atas.”
Hal yang serupa dengan Efek Panoplie adalah “Efek Veblen”. Diambil dari nama seorang sosiolog Amerika, Veblen, dan merujuk pada perilaku konsumsi untuk pamer ke kelas atas. Veblen menemukan fenomena aneh dalam ekonomi pasar. Menurut hukum permintaan, semakin tinggi harga barang, maka permintaan akan semakin rendah. Namun untuk kelas atas, semakin tinggi harga barang, justru semakin banyak produk yang mereka beli demi menikmati posisi istimewa mereka.
Oleh karena itu, merangsang psikologi ini akan sangat efektif untuk menjual produk-produk mahal di masa sulit seperti sekarang. Karyawan toko barang bermerek di pusat perbelanjaan dapat berkata seperti ini.
“Drama My Colden Life akhir-akhir ini sedang booming, ya? Pemeran utamanya, aktris Shin Hye-sun memakai produk ini, lho. Produk yang dikenakan oleh putri pemimpin perusahaan besar, tentu kualitasnya terjamin. Bagaimana kalau Anda mencoba produk ini?”
Sang pelanggan pasti akan langsung terbayang putri Haesung Group dan barang bermerek yang ia kenakan. Kemudian, dia akan menyatakan keinginannya untuk membeli dengan senang hati sambil memproyeksikan dirinya ke dalam bayangan tersebut.
Begitu juga untuk perencana keuangan yang menjual produk keuangan bernilai tinggi. Ketika Anda menjual produk keuangan bernilai tinggi kepada mereka yang kuat secara finansial, Anda tidak perlu repot-repot menawarkan akan meningkatkan suku bunga beberapa persen atau memberikan bonus dan keuntungan lain. Sulit untuk menggerakkan hati mereka dengan cara seperti itu. Katakanlah seperti ini.
“Kontrak ini bernilai mahal, sehingga tidak bisa ditawarkan kepada sembarang orang. Produk ini kebanyakan dipakai oleh kalangan profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan di Gangnam. Direktur klinik bedah plastik K, Pengacara M, dan Akuntan E yang belakangan ini muncul di TV juga baru beberapa waktu lalu mengambil produk ini.”
Jika Anda menjual produk mahal dan berurusan dengan pelanggan dari kalangan berada, jangan membujuk mereka dengan diskon beberapa sen. Anda juga tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai kualitas produk. Cukup sentuh dengan lembut keinginan mereka untuk meningkatkan statusnya.
“Minggu lalu, barang ini masih 1,3 juta. Tapi hari ini….”
Memancing Dengan Angka yang Lebih Tinggi Anchoring Effect
Ada dua orang penjual sayur di pasar. Satu orang menarik pembeli dengan tulisan 10.000 won. Satu orang lainnya memasang tulisan angka 12.000 won yang dicoret dan angka 10.000 won di sebelahnya. Siapa yang lebih bagus penjualannya? Tentu saja orang yang kedua.
Mereka yang sering pergi ke pojok diskon di swalayan atau pusat perbelanjaan pasti mengetahuinya. Seluruh konsumen, tanpa terkecuali, lebih memilih produk yang ditempeli harga diskon di sebelah harga tinggi yang diberi tanda X. Meskipun membeli barang yang tidak langsung dibutuhkan, mereka biasanya berkata seperti ini.
“Aku sungguh beruntung hari ini!”
“Aku beruntung mendapatkan ini dengan harga murah.”
Ini adalah teknik pemasaran umum untuk membuat pelanggan merasa seolah-olah membeli dengan harga yang lebih murah dengan cara sengaja menulis harga yang lebih tinggi, tetapi menjualnya dengan harga lebih rendah. Orang-orang akan berpikir itu diskon, padahal kenyataannya tidak ada diskon.
Karena terlalu sering digunakan, kebanyakan orang kini sudah tahu bahwa diskon palsu itu adalah taktik bisnis. Namun yang mengejutkan, teknik diskon ini masih saja bekerja. Mengapa demikian?
Ini akibat apa yang dikenal sebagai “Efek Jangkar (Anchoring Effect)”. Konsep ini dicetuskan oleh psikolog dan pengamat ekonomi perilaku Daniel Kahneman bersama dengan Amos Tversky. Anchoring berarti menurunkan jangkar agar kapal bisa berlabuh, di mana setelah itu kapal hanya dapat bergerak di dalam batas antara jangkar dan tali yang melekat pada kapal. Hal ini merujuk pada fenomena munculnya distorsi dalam penilaian setelah angka atau benda pertama yang tersaji dijadikan acuan. Dikenal juga sebagai “Efek Buang Sauh” dan “Efek Tambatan”.
Kahneman danTversky melakukan percobaan yang menarik. Setelah mengumpulkan subjek di depan rolet yang bertuliskan angka 1 hingga 100, mereka berkata seperti ini.
“Coba tebak apakah angka yang keluar setelah Anda memutar rolet ini lebih besar atau lebih kecil daripada persentase negara- negara Afrika yang tergabung di PBB.”
Subjek kemudian memberikan jawaban rasio yang mendekati berdasarkan angka-angka yang muncul dari rolet. Subjek yang mendapatkan angka 20 mengatakan “Antara 10-30” dan subjek yang mendapatkan angka 50 menjawab “Antara 40-60”. Demikianlah penilaian para subjek sangat dipengaruhi oleh angka yang pertama kali diperoleh secara kebetulan.
Hal ini juga dibuktikan dalam buku The Technique of Choice in the Moment karya pengamat ekonomi perilaku, Christopher Hsee. la meminta para subjek menuliskan tiga digit terakhir nomor ponsel masing-masing di selembar kertas kosong. Kemudian ia meminta mereka seperti ini.
“Coba tebak periode runtuhnya Roma.”
Para subjek, tanpa terkecuali, memberikan jawaban dengan angka yang mirip dengan nomor telepon mereka. Dari sini pun kita dapat mengetahui bahwa angka yang lebih dulu ditemui menjadi acuan yang memengaruhi penilaian subjek.
Ini menunjukkan bahwa Efek Jangkar dapat sangat membantu saat menjual produk atau dalam berbagai negosiasi keuangan. Jika Anda menjual TV terbaru seharga 1 juta won di sebuah pusat perbelanjaan, memasang harga normal adalah tindakan yang naif. Cobalah memasang harga lebih tinggi, misal 1,3 juta won, kemudian coret dan tulislah harga normal di sebelahnya. Setelah itu, beri tahu pelanggan seperti ini.
“Sampai minggu lalu, produk ini dijual dengan harga 1,3 juta won. Hari ini kami menjualnya lebih murah 300.000 won, yakni seharga 1 juta won saja. Anda akan menyesal jika melewatkan kesempatan ini.”
Katakanlah Anda seorang karyawan perusahaan periklanan yang sedang bernegosiasi dengan pihak pengiklan tentang nilai pesanan iklan. Jika biaya produksi semula adalah 50 juta won, bernegosiasilah dengan cara seperti ini.
“Total biaya produksinya sebenarnya 80 juta won. Namun, mempertimbangkan kondisi perusahaan yang juga terdampak kondisi bisnis yang memburuk belakangan ini, kami akan usahakan untuk menekannya menjadi 50 juta won saja.”
Tidak hanya dalam pemasaran, efek jangkar juga kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah teknik yang anehnya mampu memperdaya hati meskipun sudah dicurigai.
Jika Anda bisa memanfaatkan efek jangkar dengan baik dan sesuai porsinya, Anda dapat membuat orang lain membuka dompetnya dengan senang hati.
“Kalau ditambah kacamata hitam, pasti keren!”
Rayuan untuk Konsumsi Berkelanjutan Tanpa Ragu Diderot Effect
Bos toko A: “Pembeli yang datang umumnya hanya membeli satu jenis produk. Mungkin karena harganya juga tidak murah- mereka tidak bisa dengan mudah membeli ini-itu.
Jadi, penjualan kami selalu jalan di tempat.
Bos toko B : “Banyak baju bagus di toko kami, tapi entah kenapa yang laku itu-itu saja. Adakah cara untuk membuat mereka membeli pakaian yang lain juga?
Ini adalah kegelisahan yangseringdialami seorang pedagang. Toko A menjual furnitur dan penjualannya stagnan meskipun produk andalannya laris manis. Toko B menjual pakaian dan penjualannya tidak meningkat karena hanya beberapa jenis produk saja yang laku. Jika muncul pesaing baru dalam kondisi seperti ini, penjualan mereka pasti akan menurun.
Apa yang harus dilakukan di saat seperti ini? Bagaimana cara menjual produk lain untuk meningkatkan pendapatan? Dalam hal ini, Anda bisa memperkenalkan produk yang cocok dengan produk yang sudah dibeli kepada sang pembeli. Konsumen sejatinya memiliki keinginan untuk membeli produk yang cocok dipakai dengan produk yang dibeli lebih dulu daripada produk yang sama sekali tidak ada hubungannya.
Psikologi ini dapat dijelaskan dengan “Efek Diderot”, yaitu sebuah psikologi untuk terus membeli barang yang cocok dengan sebuah barang yang dibeli. Istilah ini pertama digunakan oleh Antropolog Grant McCracken dalam buku Culture and Consumption, yang diambil dari nama seorang filsuf abad ke- 18, Denis Diderot.
Diderot menceritakan sebuah anekdot soal baju tidur dalam esainya yang berjudul Regrets for My Old Dressing Cown. Suatu hari, ia mendapat baju tidur merah dari temannya dan ia pun membuang baju lama yang selama ini dipakainya. Namun ketika sedang beraktivitas di ruang kerja sambil mengenakan baju baru itu, ia mendapati bahwa meja kerja dan bajunya tidak serasi, la pun mengganti mejanya dengan yang baru. Namun setelah meletakkan meja yang baru, ia merasa tidak puas dengan rak buku, hiasan dinding, dan jam dindingnya, la menyadari bahwa barang-barang tersebut tidak cocok dengan meja yang baru. Akhirnya, ia pun mengganti seluruh benda yang ada di ruang kerjanya dengan yang baru.
Kisah ini menunjukkan bahwa konsumsi suatu benda dapat mendorong konsumsi berikutnya. Terinspirasi oleh cerita ini, Grant McCracken pun menciptakan konsep dan istilah “Efek Diderot” dengan berkata seperti ini,
“Diderot melakukan serangkaian konsumsi demi keserasian sebuah benda. Hal ini mudah terjadi ketika konsumen membeli mobil, furnitur, atau pakaian.”
Namun, ada satu hal yang harus diperhatikan di sini. Orangorang tidak melihat aspek fungsional. Mereka lebih mengutamakan kesatuan secara estetika dan budaya. Misalnya ketika membeli sepeda baru, mereka tidak akan membeli perkakas untuk perbaikan atau sadel yang empuk, melainkan pakaian, sepatu, dan kacamata hitam ekstra untuk keseragaman mode.
Katakanlah Anda seorang pemilik toko furnitur. Jika ada yang membeli lemari pakaian berwarna putih, Anda bisa mengatakan ini untuk memaksimalkan efek Diderot.
“Mungkin Anda mau lihat meja rias ini dulu? Pegangannya satu seri dengan lemari itu dan warnanya sama-sama putih. Jika ditata bersama, akan terlihat seperti satu set yang sangat serasi.”
Sang pembeli akan mulai memikirkan meja rias lama warna cherry-nya di rumah. Meskipun baru membayangkan, ia bisa melihat bahwa meja itu tidak akan serasi dengan lemari pakaian yang berwarna putih, la pun akan membayangkan kamarnya yang diisi dengan lemari dan meja rias yang senada, lalu membuka dompetnya.
Bagaimana dengan pemilik toko pakaian yang disebutkan di depan? Jika celana jeans yang laku, ia bisa memajang manekin yang diberi kaus, syal, dan pakaian dalam yang serasi dengan celana tersebut. Ketika seorang pembeli masuk dan mencari celana jeans, ia bisa membawanya ke depan manekin sambil berkata seperti ini.
“Saya mencoba mengombinasikannya dengan produk yang sesuai. Jika Anda mengikuti style ini dan membelinya sekaligus, Anda tidak perlu khawatir lagi bagaimana harus mengombinasikannya.”
Sepatah kata ajaib ini akan membuat sang pembeli yang datang untuk membeli sehelai celana jeans akan sekaligus membeli kaus, syal, dan bahkan mungkin tas selempang kecil.
“Dengan kedua produk ini, Anda akan terlihat sangat cantik.”
Saran yang diberikan sambil tersenyum ini akan membuat konsumen senang untuk membelinya. Pastikan Anda memanfaatkan Efek Diderot jika Anda seorang pelaku pemasaran atau penjualan.
“Sudah lihat Instagram? Banyak orang mengantre untuk membelinya!”
Melakukan Apa yang Orang Lain Lakukan Bandwagon Effect
Honey Butter Chip, North Face, Long Padding….
Apa yang terlintas dalam pikiran Anda? Apa kesamaan mereka dari segi konsumsi? Ya. Ketiganya adalah produk yang pernah meledak dan menjadi tren. Honey Butter Chips pernah kehabisan stok karena begitu populer dan North Face disebut sebagai “pemecah tulang belakang” karena menjadi benda favorit para siswa.
Mengapa para konsumen begitu menginginkan produk- produk tersebut? Apakah karena rasanya sangat enak? Apakah karena kualitasnya sangat baik?
Tentu saja tidak. Para konsumen membeli Honey Butter Chips bukan karena rasanya yang luar biasa, melainkan karena dicari oleh banyak orang. Serupa dengan faktor dalam keputusan membeli North Face dan long padding.
“Seenak apa sih sampai terkenal begitu. Aku jadi ingin mencicipinya.”
“Kamu pakai, aku juga pakai, kenapa aku tidak boleh memakainya?”
“Teman-temanku semua memakainya. Hanya aku yang tidak. Aku jadi merasa sendirian.”
Sebagian besarorang membeli secara impulsif karena produk itu sangat populer, sedang menjadi tren, atau takut tertinggal dari orang-orang jika tidak ikut dalam barisan tersebut.
Dengan demikian, salah satu faktor penentu konsumen membuka dompet ialah “tren”. Ini seperti tornado yang kuat: sekali berembus, sulit untuk keluar darinya. Oleh karena itu, jika Anda ingin konsumen membuka dompet mereka dengan santai, Anda harus menekankan soal “tren”.
Ini dapat dijelaskan dengan “Efek Bandwagon”, sebuah fenomena pengonsumsian barang sesuai dengan tren. Disebut juga sebagai “Efek Membonceng” yang merujuk pada perbuatan mengikuti kecenderungan konsumsi orang lain. Orang yang membahas Efek Bandwagon secara akademis adalah ekonom Amerika, Harvey Leibenstein. la mengatakan dalam makalahnya tentang teori permintaan konsumen.
“Efek Bandwagon adalah pengaruh permintaan orang lain terhadap permintaan seseorang atas suatu produk tertentu.”
Istilah ini berasal dari Rice, seorang badut terkenal yang menarik perhatian orang-orang karena menaiki kereta (wagon) band dalam kampanye tahun 1848. la menarik perhatian orangorang dengan bermain musik keras-keras di atas kereta pemandu arak-arakan, yang sangat membantunya dalam memenangkan kandidat yang didukungnya. Dari sini, kendaraan band yang berada di bagian depan parade disebut bandwagon. Momentum tersebut membuat banyak politisi mulai mengikuti metodenya, dan istilah ini pun dikenal secara luas.
Efek Bandwagon menempati porsi yang sangat bagus, terutama dalam pemilu. Pemilih yang belum bisa memutuskan kandidatnya biasanya menunjukkan reaksi seperti ini mengenai berita tentang kandidat yang diunggulkan.
“Sudah tidak diragukan lagi. Pasti ada alasan kenapa orangorang memilihnya. Aku juga harus mencoblos kandidat itu agar sama dengan yang lain.”
Hal yang sama juga berlaku pada penggemar bisbol profesional. Katakan ada penggemar bisbol yang tidak memiliki tim bisbol favorit. Saat ia ingin bersorak untuk sebuah tim bisbol, Efek Bandwagon akan bekerja. Dia sangat mungkin akan menjadi penggemar tim bisbol yang juara dan bersorak antusias terhadap mereka.
Seorang tenaga penjualan pasti memiliki batasan dalam meyakinkan pelanggan, meskipun ia telah memberi tahu bahwa produk itu sangat berkualitas dan harganya juga masuk akal. Di sinilah senjata rahasia dibutuhkan, yakni menambahkan komentar seperti ini.
“Di kawasan sebelah, ada apartemen E bukan? Kami bekerja sama dengan setiap penghuni di sana. Kami hampir kehabisan stok karena begitu populernya. Terutama model ini yang paling populer. Sebelum kehabisan stok, Anda bisa membeli satu selagi ada kesempatan.”
Apabila Anda sedang berpikir tentang cara memasarkan restoran yang akan Anda buka, Efek Bandwagon akan sangat berguna. Terutama jika lokasinya berada di dalam gang, gerakkan staf untuk membuat antrean panjang dari pintu restoran hingga ke tepi jalan. Supaya dilihat oleh orang-orang yang lewat. Anda tidak perlu bicara apa-apa di saat seperti ini. Antrean yang panjang itu sendiri telah menunjukkan dengan jelas Efek Bandwagon.
Tutor, produk, atau acara TV yang ramai diperbincangkan…. Walaupun tidak ingin terhanyut, Anda pasti akan merasa penasaran dan tertarik. Jangan hanya menjadi korban Efek Bandwagon, tetapi manfaatkan juga efek ini secara aktif untuk sesuatu yang Anda butuhkan.
“Kali ini Anda beruntung lagi. Benar-benar pilihan jitu.”
Sekali Beruntung Akan Beruntung Terus? Hot Hand Phenomenon
Katakanlah Anda membeli tiket lotre dan memenangkan uang puluhan ribu won. Biasanya Anda akan membelinya lagi karena senang. Lalu Anda memenangkan puluhan ribu lagi. Reaksi apa yang biasanya akan muncul?
“Wah, sepertinya aku sedang beruntung hari ini. Mungkin saja aku bisa memenangkan jumlah yang lebih besar lagi.”
Dia terhanyut dengan keberuntungannya dan terus membeli tiket lotre sampai kehilangan lebih dari yang dia menangkan. Tidak akan begitu? Hal seperti itu hanya terjadi pada beberapa orang? Tidak. Banyak orang cenderung percaya bahwa satu kali keberuntungan dalam olahraga atau perjudian akan terus- menerus diikuti oleh keberuntungan berikutnya.
Oleh karena itu, orang yang diyakinkan bahwa ia sedang beruntung akan merasa tertantang untuk terus mencoba apa yang dilakukannya. Sebagai contoh, ada seseorang yang tidak pandai bermain bola. Tendangannya selalu saja meleset. Namun suatu hari, ia secara kebetulan merasakan gol dalam pertandingan sepak bola di kampungnya. Kemudian, orang-orang di sekitarnya berkata kepada dia.
“Sepertinya kamu beruntung.”
Orang ini akan mempercayai ucapan tersebut dan mencoba lebih banyak tembakan daripada biasanya. Hal ini bisa dijelaskan dengan “Fenomena Tangan Panas (Hot Hand Phenomenon)”. Ini adalah bias kognitif yang memercayai bahwa sebuah kesuksesan akan mengarah pada kesuksesan berikutnya.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985 dalam sebuah makalah berjudul “Hot Hand in Basketball” oleh psikolog sekaligus pengamat perilaku AmosTversky dan Psikolog Thomas Gilovich yang dimuat dalam Cognitive Psychology. Singkatnya, saat seorang pemain bola basket berhasil menembak selama dua atau tiga kali, maka dia diprediksi akan berhasil juga pada tembakan berikutnya. Tversky dan Gilovich melakukan percobaan dengan target penggemar bola basket yang menonton pertandingan bola basket dan mengajukan tiga pertanyaan berikut.
- Bagaimana perkiraan Anda tentang tingkat keberhasilan lemparan bebas pemain yang baru saja mencetak skor?
- Bagaimana perkiraan Anda tentang tingkat keberhasilan lemparan bebas pemain yang baru saja gagal mencetak skor?
- Siapa yang harus lebih banyak diberi lemparan bebas?
Jawaban dan kesimpulan untuk pertanyaan pertama dan kedua adalah sebagai berikut. Pemain yang berhasil mencetak skor sebelumnya diperkirakan memiliki peluang 61% untuk berhasil melakukan lemparan bebas, sementara pemain yang sebelumya gagal diperkirakan memiliki peluang 42% untuk berhasil. Jawaban untuk pertanyaan terakhir adalah “Kepada pemain yang berhasil menembak secara berturut-turut”.
Akan tetapi, dugaan orang-orang ini tidak sesuai dengan kenyataan. Hasil studi Koehler dan Conley terhadap pemain NBA menunjukkan bahwa sebuah keberhasilan tidak mengarah pada keberhasilan berikutnya. Ini berarti peluang keberhasilan berikutnya masih tetap 50-50 walaupun sebelumnya telah berhasil. Namun, orang-orang juga membuat kesalahan dengan meyakini bahwa orang yang sukses sekali atau dua kali sedang mendapatkan keberuntungan. Kesalahan ini juga berlaku bagi pemain bola basket itu sendiri. Seorang pemain yang berhasil dalam tiga atau empat lemparan bebas percaya bahwa ia sedang beruntung dan menjadi lebih agresif dalam lemparan berikutnya.
Penjual sayur di pasar memanfaatkan kondisi ini dengan sangat baik. Mereka menjajarkan sayuran dengan kualitas yang mirip agar pembeli bisa memilihnya. Para ibu rumah tangga juga akan senang karena mereka bisa memilih-milih sayuran. Saat seorang pembeli memilih sebuah sayuran, sang penjual akan berkata seperti ini.
“Anda beruntung hari ini. Anda memilih yang paling besar dan segar.”
Sang pembeli yang percaya bahwa dirinya sedang beruntung akan memilih-milih lagi sayuran yang dipajang dan membeli lebih banyak dari yang direncanakan semula. Bahkan, mereka akan membeli sayuran lain yang sebelumnya tidak terpikirkan untuk dibeli. Beginilah cara penjual sayur membuka dompet pembelinya dengan lihai.
“Wah, kali ini Anda beruntung lagi. Anda membeli yang paling bagus.”
Jika Anda seseorang yang berurusan dengan pelanggan, cobalah gunakan Fenomena Tangan Panas dengan melayangkan komentar yang seperti itu. Pelanggan yang percaya bahwa mereka telah membeli barang bagus dengan harga murah pasti akan termotivasi dan membuka dompet mereka dengan senang hati.
“Awalnya kesal. Tapi sekarang jadi fans.”
Membuat Pembeli yang Mengeluh Jadi Pelanggan Tetap John Goodman’s Law
“Lengannya agak panjang, kalau bisa dikecilkan dulu.”
“Saya butuh pakaian itu secepatnya. Tolong, ya.”
Ada toko pakaian yang selalu mendengarkan dan melaksanakan sesuai permintaan setiap kali diminta seperti itu.
Toko langganan saya. Namun, awalnya tidak seperti itu.
Dulu ada beberapa toko pakaian yang sering saya singgahi untuk membeli jas dan biasanya tempat itu menawarkan kualitas dan layanan terbaik. Mungkin karena tempat-tempat tersebut sering didatangi selebritas terkenal sehingga rasanya benar- benar berbeda. Secara kebetulan, saya mengunjungi toko yang baru dibuka dan ada cacat pada produk pertama yang saya beli. Meskipun sepele, pengalaman ini cukup membuat mood saya hilang. “Sepertinya aku tidak akan datang ke sini lagi,” pikir saya ragu-ragu. Lalu bagaimana saya bisa menjadi pelanggan tetap toko itu?
Pada toko pakaian terbaik yang didatangi banyak selebritas, segalanya begitu sempurna hingga rasanya tidakada yang kurang.
Namun di tempat seperti itu, hampir tidak ada komunikasi atau obrolan yang hangat dengan si pemilik ataupun karyawannya. Akibatnya, saya merasa semakin asing dan jarang ke sana lagi. Sementara di toko pakaian yang baru, meskipun ada yang kurang, saya bisa mengobrol dengan nyaman tentang pakaian kapan saja. Mereka juga menangani berbagai permintaan saya dengan sangat hati-hati.
“Agak susah saat memasukkan kancing.”
“Lusa kira-kira bisa selesai?”
Ketika saya meminta sesuatu, sang pemilik toko langsung mendatangi saya dan segera memenuhinya. Setelah tiga kali merasakan hal seperti ini, saya mau tidak mau menjadi pelanggan tetap mereka.
Pasti ada orang-orang yang pernah mengalami ini juga: awalnya mengeluhkan toko tersebut, tetapi kemudian malah menjadi pelanggan tetapnya. Psikologi apa yang berlaku di sini? Kejadian ini berhubungan dengan “Hukum John Goodman”. Bahwa pembeli kemungkinan besar akan membeli kembali merek yang sama jika keluhannya teratasi.
Direktur lembaga riset pemasaran TARP menemukan sesuatu yang aneh dalam penelitiannya mengenai industri di 20 negara.
“Produk dan pelayanannya sempurna, persentase pelanggan datang kembali dan membeli kembali tidak tertandingi. Kenapa begitu?”
Sebuah fenomena yang sulit dipahami akal sehat. Setelah melakukan penelitian untuk mencari tahu alasannya, akhirnya ia sampai pada kesimpulan seperti ini.
“Ketika seorang pembeli mendatangi sebuah toko dan tidak mendapatkan masalah apa pun, rasio ia kembali datang hanya 10%. Sebaliknya, ketika pembeli memiliki keluhan dan perusahaan menanggapinya dengan baik, rasionya mencapai 65%. Terutama untuk produk yang relatif mahal, fenomena ini lebih mencolok. Rasio kedatangan kembali pembeli yang tidak mengeluhkan soal produk adalah 9%, sedangkan pelanggan yang mengeluh dan ditanggapi, rasio kedatangannya kembali sekitar 70%.”
Sebuah hasil yang mengejutkan! Ini berarti bahwa produk dan layanan yang sempurna bukanlah cara terbaik untuk menarik pelanggan. Metode sebenarnya adalah dengan mendengarkan keluhan pelanggan dan mengusahakan yang terbaik untuk menanganinya sehingga pembeli merasa puas meskipun ada sedikit kekurangan.
Ada sebuah restoran bibimbap yang selalu mengundang antrean. Tempat ini telah berkali-kali diperkenalkan dalam berbagai siaran. Restoran tersebut adalah rumah kuno di dalam gang yang telah dibangun ulang dan pemiliknya adalah seorang lansia berusia 60-an akhir. Saya pernah ke toko ini beberapa kali dan punya sebuah pertanyaan.
“Rasanya bisa ditemui di mana saja. Tapi kenapa pengunjungnya tidak kunjung berhenti, ya?”
Bagian dalam toko terasa sekali seperti rumah tua dan pemanas atau pendinginnya juga tidak terlalu bagus. Waktu keluar makanan juga tidak teratur. Akhirnya, saya pun bertanya kepada sang pemilik apakah beliau memiliki rahasia khusus. Dia bilang karena dia punya banyak pelanggan tetap. Ketika saya tanya mengapa dia bisa punya banyak pelanggan tetap, dia menjawab seperti ini.
“Saya sudah pernah mencoba berbagai restoran dan semuanya gagal membuat saya jadi pelanggan. Baik soal rasa,
promosi, maupun lokasi semuanya sudah disiapkan yang terbaik, tetapi tetap saja tidak berpengaruh pada saya. Setelah semua pengalaman itu, saya membuka tempat makan bibimbap di sini dan ternyata sukses besar. Inilah rahasianya saya punya banyak pelanggan tetap. Dengarkan ucapan pembeli serendah hati mungkin, walaupun di aspek lain kita tidak bisa menyiapkan yang terbaik. Saya berusaha mendengarkan semua keluhan yang ada.”
Secara paradoks, toko yang sukses bukanlah toko tanpa keluhan, melainkan toko dengan beberapa keluhan. Poin terpenting di sini adalah sikap mendengarkan perkataan pembeli dengan saksama untuk memperbaikinya. Baik itu pujian maupun keluhan.
Setiap orang pasti senang mendatangi tempat yang pemilik maupun karyawannya mau memasang telinga untuk mendengarkan perkataan mereka. Jika Anda menjual produk berkualitas, tetapi penjualannya tidak meningkat, cobalah untuk merenungkan hal ini. Apakah Anda mendengarkan pembeli Anda? Apakah Anda sudah berusaha untuk mendengarkan keluhan dan permintaan mereka, lalu memperbaikinya?
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Menimbulkan Hasrat Konsumsi yang Kuat Dengan Tenggat Waktu Psychological Reactance
“Kesempatan terakhir, untuk 20 orang pertama.”
“Penjualan terbatas”
“Waktunya hampir habis.”
Kalimat promosi yang biasa ditemukan di pusat perbelanjaan dan home shopping. “20 orang pertama? Yah, sudah habis, dong”. “Penjualan terbatas? Harus beli sebelum kehabisan, nih.” Orang yang membaca tulisan di atas pasti akan merasakan urgensi dan debaran untuk segera membelinya. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada orang yang kecanduan belanja atau konsumtif.
Mengapa kita merasa seperti harus membeli saat membaca kata-kata “KesempatanTerakhir” atau “Diskon Khusus Hari Ini”, walaupun biasanya kita tidak terlalu tertarik saat melihat produk yang sama? Ini karena “Reaktansi Psikologis (Psychological Reactance)". Manusia memiliki psikologi melawan lebih kuat untuk mempertahankan kebebasan ketika itu dilanggar atau terancam. Istilah ini-yang juga berlaku untuk kebebasan memilih barang-pertama kali digunakan dalam Psychological Reactance: A Theory of Freedom and Control karya psikolog sosial asal Amerika, Sharon Brehm dan Jack Brehm pada tahun 1981.
Ketika kata-kata “kesempatan terakhir”, “penjualan terbatas”, dan “waktunya mau habis” dilekatkan pada benda yang biasanya terlihat biasa saja, kita akan tergerak untuk membelinya sebagai perlawanan karena kebebasan kita untuk memilih terancam.
Hukum Kelangkaan (The Law of Scarcity) yang disebutkan dalam Influence: The Psychology of Persuasion juga mirip dengan hal ini. Ketika suatu barang atau objek menjadi langka, muncul fenomena peningkatan terhadap nilainya. Di dalam buku tersebut disebutkan eksperimen terkait hal ini yang melibatkan mahasiswa Florida State University.
Tim peneliti melakukan survei tentang kantin kampus, yang pada awalnya sebagian besar bereaksi seperti ini.
“Rasanya tidak enak.”
“Porsinya terlalu sedikit.”
Namun ketika survei yang sama dilakukan terhadap para siswa ini 9 hari kemudian, reaksi mereka berubah.
“Rasanya lumayan enak.”
“Sesuai dengan harganya.”
Apa yang menyebabkan perubahan ini? Rasa dan porsi makanan tidak berubah selama kurun waktu tersebut. Alasannya hanya satu. Dalam survei kedua, para mahasiswa telah mendengar bahwa mereka tidak bisa makan di sana selama dua minggu ke depan akibat kebakaran. Makanan kantin, yang sebelumnya dapat dicicipi kapan saja, bernilai lebih tinggi dari biasanya karena tidak dapat dicicipi untuk sementara waktu.
Dengan demikian, kondisi terbatas sangat efektif dalam menggerakkan pikiran pelanggan. Goyahkan hati pelanggan dengan lontaran kalimat tentang keterbatasan waktu, jumlah, dan tempat. Jika Anda adalah pegawai toko di pusat perbelanjaan, Anda dapat berkata seperti ini.
“Ayo, hari terakhir sa/e. Jangan lewatkan kesempatan ini.”
Jika Anda seorang karyawan di acara promosi, kalimat-kalimat seperti ini akan efektif.
“Harga spesial untuk 30 pengunjung pertama!”
“Harga ini hanya berlaku selama satu jam dari sekarang, hanya sampai jam tiga!”
Jika Anda seorang bos penjual sepatu mewah hand made, katakan seperti ini.
“Produk ini tidak dijual di tempat lain. Hanya tempat ini yang menjual satu-satunya sepatu di dunia ini.”
Orang-orang memang ingin memiliki produk yang populer, tetapi mereka juga berhasrat membeli produk yang terbatas. Apa pun yang Anda jual, kaitlah hati pembeli dengan Reaktansi Psikologis. Bukankah rasio penjualan akan naik dalam sekejap?
BAB 6
TEKNIK KOMUNIKASI PSIKOLOGIS YANG MEMBERIKAN HASIL
“Kapan Anda berlatihnya? Sudah semakin baik saja.”
Memulai Sama Dengan Setengah Jalan Endowed Progress Effect
Ada siswa yang tidak bisa juga memperbaiki sikapnya saat wawancara walaupun sudah belajar. Contohnya, siswa yang sikap badannya membungkuk atau yang berbicara dengan terbata-bata.
“Kita akan memperbaikinya satu per satu mulai dari sekarang.”
“Kita akan mulai program wawancara khusus.”
Melalui cara ini pun, mereka tetap tidak mampu memperbaiki sikap dan kebiasaan buruk mereka. Memperbaiki kebiasaan yang sudah kronis memang tidak mudah untuk dilakukan dalam semalam.
Dari semua cara yang sudah pernah saya coba, cara paling efektif yang saya temukan adalah dengan mendorong lewat percakapan. Yakni berkata seperti ini setelah memberi mereka latihan sederhana.
“Wah, sudah tidak seperti sebelumnya. Sudah mulai ada perubahan. Tinggal sedikit usaha lagi maka semuanya akan membaik.”
Mengatakan bahwa mulai ada perubahan akan menjadi motivasi yang membuat seseorang berusaha lebih keras.
Ini adalah “Efek Kemajuan Buatan (Endowed Progress Effect)”. Sebuah kondisi ketika Anda mengira bahwa Anda sudah lebih dekat dengan suatu target, maka Anda akan menjadi lebih bersemangat untuk mencapainya. Istilah ini pertama kali muncul dalam eksperimen yang dilakukan oleh peneliti konsumen Nunes and Dreze. Eksperimen dilakukan di tempat cuci mobil. Mereka membagi pelanggan menjadi dua kelompok dan mengatakan bahwa orang yang berhasil mengumpulkan 8 buah stempel pada kupon yang diberikan bisa mencuci mobil secara gratis. Berikut ini pembagian kupon tersebut:
- Kupon grup A: Dari 10 kotak kosong, sudah ada dua kotak yang distempel.
- Kupon grup B: Ada delapan kotak kosong.
Hasilnya cukup berbeda. Rasio grup A mengumpulkan semua stempel 82% lebih tinggi daripada grup B. Demikianlah seseorang lebih termotivasi untuk mencapai tujuan ketika sudah berkembang sampai batas tertentu dibandingkan dalam keadaan masih kosong.
Bagaimana kita bisa memanfaatkannya? Kedai kopi atau swalayan bisa memberikan lembar koleksi stiker yang telah diisi dua buah stiker kepada pelanggan karena akan jauh lebih efektif daripada memberikan lembar yang masih kosong. Ini juga akan meningkatkan rasio pengumpulan stiker.
Efek ini juga dapat memberikan hasil yang lebih baik pada pelaksanaan acara, proyek, dsb. Misalnya, ada seorang mahasiswa perwakilan jurusan yang mendorong mahasiswa lainnya untuk berpartisipasi dalam sebuah acara besar. Jika ia melihat bahwa tingkat partisipasi para mahasiswa akan sangat rendah, ia bisa berkata seperti ini.
“Sudah ada beberapa orang yang mau berpartisipasi. Semoga yang berpartisipasi lebih banyak lagi.”
Ketika seorang pemimpin tim harus mengerjakan sebuah proyek penting bersama anggota timnya, akan sulit untuk memulainya secara tiba-tiba dari nol. la bisa membuat kerangka besar, lalu menunjukkan kepada anggota timnya sudah sejauh mana proyek tersebut berjalan.
“Proyeknya sudah berjalan. Tinggal kita lanjutkan lagi dengan lebih baik.”
Anda juga dapat menggunakannya di lembaga kursus bahasa asing. Anda bisa memotivasi peserta kursus dengan berkata seperti ini setelah mereka selesai melakukan tugas yang sederhana.
“Anda sudah hafal hiragana atau katakana? Luar biasa. Sedikit lagi, Anda pasti bisa langsung pandai berbicara.”
Pepatah bahwa memulai adalah setengah jalan bukanlah sekadar omong kosong belaka. Cobalah praktikkan Efek Kemajuan Buatan dengan melontarkan pesan semangat dan keberanian yang mengandung intisari bahwa “perubahan telah dimulai”.
“Ucapan pemimpin tim membuat kami tergerak.”
Kalimat Pembakar Semangat vs Penghangus Semangat Muraven’s Experiment
“Soal yang tadi Bapak bilang…”
“Maaf, tadi maksud Bapak saya diminta menambahkan data tentang perusahaan kompetitor di dalam proposal kan, ya?”
“Pak, bisa tolong jelaskan lebih detail lagi?”
Anda mungkin pernah mengajukan pertanyaan seperti itu ketika kurang memahami perintah atasan Anda. Namun, sang atasan yang punya sifat buru-buru pasti ingin karyawannya langsung memahami perintahnya dan segera melaksanakannya. Jadi, jika ada karyawan yang lamban atau menanyakan kembali instruksinya, ia tidak bisa menahan kegundahannya dan akhirnya marah-marah.
“Jangan berpura-pura. Masa begitu saja tidak mengerti.” “Kamu mau bertanya berapa kali lagi?”
“Masih belum dikerjakan? Harusnya kan sudah selesai dari kemarin. Lamban sekali, sih.”
Apakah komunikasi atau umpan balik semacam ini membantu dalam pekerjaan? Apakah hal ini membuat hati orang senang sehingga mereka akan bekerja dengan sendirinya? Jelas tidak.
Eksperimen Mark Muraven mengungkapkan bahwa kehendak tidak bersifat konstan dan akan habis bila digunakan. Hal itu dikenal sebagai “Percobaan Mark Muraven (Mark Muraven’s Experiment)”. Ringkasan percobaan tersebut adalah sebagai berikut:
Kita ambil contoh seorang anak yang menahan diri dan tidak makan marshmallow sesuai perintah orang-tuanya. Karena anak itu mampu mengendalikan diri untuk tidak makan marshmallow, ia diharapkan akan tetap konsisten dan mempertahankan kehendak juga saat belajar atau menunggu antrean. Namun, kenyataannya tidak. Kemauan sama seperti energi, yang akan habis jika digunakan. Mark Muraven yang sedang menempuh program doktoral dalam bidang psikologi di universitas, menyimpan pertanyaan mengenai kehendak.
“Mengapa, di hari yang satu kita mau berolahraga lari setelah pulang kerja, sedangkan di hari lain tidak ingin berolahraga lari karena tergoda oleh TV? Jika kita memiliki keinginan untuk berolahraga lari, bukankah tekad untuk berolah raga lari setelah pulang kerja harus dijaga secara konsisten?”
la melakukan percobaan terhadap mahasiswa untuk menjawab pertanyaan ini. la mengumpulkan 67 orang mahasiswa secara acak, lalu setiap mahasiswa diberikan kue, cokelat, dan makanan yang mengandung radis (lobak merah). Mereka dibohongi bahwa itu adalah tes indra perasa dan tidak diizinkan makan selama lima menit.
Setelah itu, ia berkata seperti ini kepada setengah dari mereka sebagai ungkapan terima kasih karena telah berpartisipasi dalam percobaan.
“Jika Anda memiliki cara pengujian yang lebih efektif untuk mengetes indra perasa, silakan sampaikan pendapat Anda.”
Sementara kepada separuh mahasiswa lainnya, ia berbicara dengan nada memaksa.
“Selama 5 menit, jangan makan makanan yang dibagikan sekarang.”
Lima menit kemudian, ia melakukan tes komputer untuk menguji kemauan para mahasiswa. Hasilnya, para mahasiswa yang diperlakukan dengan ramah rata-rata menjalankan tugas selama 12 menit tanpa kesulitan, sedangkan kelompok kedua yang diperintah secara paksa memiliki kemampuan pelaksanaan tugas yang buruk. Kelompok kedua kehabisan kemauan karena harus menahan diri terhadap makanan, ditambah lagi dengan menerima instruksi yang memaksa.
la yang telah melakukan lebih dari 200 penelitian tentang ini membuat kesimpulan seperti ini,
“Kemauan bukan sekadar keterampilan, melainkan sama seperti otot lengan atau kaki. Jika sering digunakan, akan lelah. Oleh karena itu, jika kita menggunakan kemauan terlalu banyak untuk satu hal, kita tidak akan bisa menampilkan kemauan yang sama di hal yang lain.”
Jadi bagaimana? Memaksa atau menggertak karyawan di tempat kerja tidak akan membantu meningkatkan kinerja. Jika ingin meningkatkan kinerja karyawan, kita harus menghidupkan kemauan mereka terlebih dahulu. Mengharapkan pencapaian yang lebih baikdengan menggunakan nada bicara yang memaksa saat memberikan perintah kerja kepada karyawan adalah hal yang bodoh. Nada bicara seperti itu akan menghabiskan kemauan karyawan, bahkan sebelum mereka mulai bekerja.
Apakah Anda mengharapkan karyawan bekerja keras dengan kemauan yang kuat? Jika demikian, tinggalkan omelan atau sikap bertekanan tinggi.
“Saya ada perintah. Saya akan bicara sesuai urutan, jadi buat catatan dan tanyakan jika ada yang tidak dimengerti.”
“Saya ingin mendengar pendapat Bapak Park juga…. Mungkin kita dapat menemukan cara yang lebih rasional jika mengumpulkan pendapat dari beberapa orang.”
Setelah bersikap terbuka dan mempersenjatai dengan kebaikan, ingatlah bahwa berbicara seperti ini adalah jalan untuk membangun semangat dan komitmen karyawan.
“Ayah, Ibu, Pemimpin Tim, Teman-teman, tahun ini aku pasti….”
Rumor Mempermudah Pencapaian Target Profess Effect
“Targetnya turun 1 kg sebulan, jadi total 12 kg setahun”
“Kelas percakapan dasar yang terhenti tahun lalu harus selesai di tahun ini”
“Sudah berapa kali aku terlambat gara-gara main? Aku harus mengurangi main dan masuk kerja 10 menit lebih awal.”
Semua orang pasti menyusun target saat tahun baru. Saya juga membuat target baru setiap tahun dan berusaha mewujudkannya. Namun, kesibukan saya mengajar ke seluruh penjuru negeri tidak hanya membuat saya kurang tidur, tetapi juga mengaburkan tekad saya, dan akhirnya semua rencana tinggal rencana. Empat tahun lalu, saya pernah memutuskan untuk berolahraga demi kesehatan saya, dan mengakhiri keanggotaan di pusat kebugaran setelah enam bulan. Padahal, saya ke sana pun tidak sampai satu bulan dengan alasan sibuk.
Saya juga menargetkan untuk menerbitkan buku sejak awal dua tahun lalu. Targetnya bukan hanya menerbitkan buku, melainkan untuk menjadikannya buku terlaris. Namun, “seperti yang diduga”. Tidak mudah untuk menulis buku dengan tubuh lelah. Sudah duduk di meja kerja pun, saya hanya bisa mengantuk sehingga target ini juga terancam menjadi tinggal rencana. Diperlukan langkah-langkah khusus. Cara yang saya pakai adalah meminjam kekuatan kata-kata.
“Sayang, tahun ini kamu pasti akan menerbitkan buku terlaris.”
“Duhai para guru, Anda boleh berharap. Buku saya yang sudah ditunggu-tunggu akan keluar di semester pertama.”
Demikianlah saya rajin memberi tahu target saya kepada orang-orang di sekitar saya. Saya tidak hanya menyimpannya di dalam hati, tetapi juga mengumumkannya secara detail kepada orang-orang di sekitar saya. Secara ajaib, saya yang tadinya malas-malasan, bisa mengontrol diri saya, dan akhirnya menerbitkan buku pertama yang menjadi buku terlaris.
Keberhasilan saya disebabkan oleh “Efek Pernyataan (Profess Effect)”. Sebuah kondisi ketika Anda dapat lebih meningkatkan kemampuan eksekusi Anda untuk mencapai target dengan memberi tahu orang-orang di sekitar.
Pada tahun 1955, psikolog Amerika Dr. Deutsch dan Dr. Gerard melakukan percobaan seperti berikut. Mereka mengumpulkan subjek dan membaginya menjadi tiga kelompok A, B, dan C.
Grup A diberi perintah seperti ini.
“Jangan katakan kepada siapa pun tentang tujuan Anda.”
Grup B diberi perintah seperti ini.
“Tuliskan target Anda pada notes yang dapat langsung dihapus.”
Grup C diberi perintah seperti ini.
“Tulis target Anda di selembar kertas, tanda tangani, lalu umumkan.”
Hasilnya, Grup A 24,7% dan Grup B 16,3% tidak bisa mempertahankan target awal mereka dan mengubahnya, sementara Grup C hanya 5,7% yang mengubah target mereka. Dari sini terungkap bahwa semakin banyak orang yang diberi tahu, semakin efektif dalam mempertahankan konsistensi target. Ini mirip dengan Efek Pygmalion di mana ekspektasi atau minat orang lain meningkatkan efisiensi kerja dan membuat hasilnya lebih baik.
Metode ini tidak hanya dapat dipakai pada orang lain, tetapi juga pada diri sendiri. Dengan mensugesti diri sendiri dan berteriak, “Aku pasti bisa”, “Aku pasti mencapai targetku”, atau “Aku akan menyelesaikannya karena tekadku kuat”, kita akan lebih bisa melaksanakan pekerjaan.
Salah satu contohnya adalah petinju legendaris Muhammad Ali. Dia tidak bisa dilupakan kalau soal deklarasi. Seperti yang kita tahu, Ali bukan tipe orang yang hanya fokus pada latihan, la tidak hanya giat dalam berlatih, tetapi juga rajin dalam berbicara.
“Saya yang terbaik.”
“Tidak ada yang bisa menyaingi saya di dunia ini.”
“Dia pasti akan K.O di ronde keempat.”
Secara mengejutkan, ucapannya benar-benar terwujud. Di kemudian hari, ia mengungkapkan bahwa ia bisa menang bukan karena kepalan tinju, tetapi berkat kata-kata.
Jika Anda memiliki tujuan baru atau target yang sulit, jangan simpan sendirian di dalam hati dan beri tahukan kepada orang-orang di sekitar Anda. Ini akan menjadi rumor di lingkungan Anda. Orang-orang yang mengetahui tujuan Anda akan menjadi pelatih yang keras sekaligus pendukung yang menguatkan. Gunakan kekuatan itu secara aktif.
“Tanya sendiri, jawab sendiri.”
Meningkatkan Kemampuan Eksekusi Lewat Obrolan Dengan Diri Sendiri Question-behavior Effect
“Anak saya sudah kelas 3 SM A, tapi malas sekali belajar. Saya jadi khawatir. Apa yang harus saya lakukan?”
“Saya selalu terlambat kerja. Saya tidak mau begitu, tapi kebiasaan ini susah sekali hilang.”
Ini adalah kecemasan orangtua dan seorang pekerja kantoran. Yang pertama mencoba mendorong perilaku spesifik baru untuk anaknya dan yang kedua untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak mudah. Penyebabnya adalah perangkap kebiasaan yang kuat. Pola perilaku tertentu yang terus berulang untuk waktu yang lama tidak bisa diubah dengan mudah.
Saya pun tidak terkecuali. Saya berusaha keras memperbaiki kebiasaan menonton TV sambil mengemil pada larut malam karena akibatnya berat badan saya naik menjadi 64 kg.
“Tahun ini aku mau turun 10 kg.”
“Aku akan berhenti ngemil dan makan sayuran saja.”
Saya selalu bertekad seperti itu di dalam hati, tetapi setiap saat itu pula tidak pernah terwujud menjadi tindakan. Sekarang ini berat badan saya bertahan di 47 kg. Semua orang akan terkejut ketika mendengarnya dan bertanya bagaimana saya melakukannya. Ini jawabannya.
“Tekad adalah pikiran untuk melakukan sesuatu. Menetapkan hati sama seperti makan bubur dingin. Ada orang-orang yang bisa segera mewujudkannya ke dalam tindakan, dan ada yang tidak bisa. Tekad membutuhkan kemampuan beraksi untuk mengubahnya menjadi tindakan. Ada metode komunikasi yang bisa meningkatkan kemampuan beraksi. Metode itu adalah ‘Tanya-jawab’. Tanyakan kepada diri sendiri ‘Apakah kamu ingin diet?’ lalu jawab sendiri, maka kemampuan beraksi akan meningkat.”
Hal ini dapat dijelaskan dengan “Efek Perilaku Bertanya (Question-behavior Effect)”. Fenomena meningkatnya kemampuan untuk mempraktikkan dengan cara bertanya dan menjawab kepada diri sendiri. Sebuah tim peneliti gabungan dari California State University, New York State University, Washington State University, dan Idaho University menganalisis sekitar 100 studi tentang efek ini. Tim peneliti secara acak mengumpulkan mahasiswa untuk mengetahui kemampuan mereka dalam melaksanakan olahraga dan bertanya seperti berikut,
“Apakah Anda akan berolahraga selama dua bulan ke depan?”
Para mahasiswa mengangguk.
“Tentu saja. Saya akan melakukannya.”
Hasil pengamatan perilaku mereka semenjak itu menunjukkan bahwa persentasi orang yang melakukan olahraga meningkat dari 14% menjadi 26%. Menurut tim, hasil ini muncul akibat adanya reaksi psikologis semacam janji dalam proses tanya-jawab. Hal yang lebih menarik, efektanya-jawab ini tidak hanya timbul bagi si penjawab, tetapi juga secara nyata terjadi pada si penanya. Dr. Eric Spangenberg dari California State University mengatakan,
“Pertanyaan itu sederhana, tetapi merupakan teknik yang efektif untuk menciptakan perubahan perilaku.”
Gunakan pertanyaan ketika Anda ingin mendorong perilaku spesifik kepada diri sendiri maupun orang lain. Khususnya bertanya kepada diri sendiri akan mendorong Anda dua kali lipat untuk bertindak dibandingkan tekad untuk melakukan sesuatu.
Agar anak yang sudah kelas 3 SMA mau belajar, orangtua bisa mengarahkan mereka untuk memberikan tanggapan positif dengan mengajukan pertanyaan seperti ini.
“Kalau kamu mau kuliah di universitas A, kamu akan fokus belajar kan?”
Jika Anda seorang pekerja yang tidak ingin terlambat, tanya dan jawablah pertanyaan ini kepada diri sendiri.
“Aku akan tiba di kantor pukul 8:40 kan? Ya. Aku pasti akan melakukannya.”
Setiap orang berusaha mengubah hidup mereka dan mencoba perilaku-perilaku baru. Namun, tidak mudah untuk merealisasikannya sebesar apa yang ditekadkan. Ini akibat kelembaman kebiasaan lama. Bagaimana kita bisa memutus belenggu kelembaman yang awet ini?
Percayakan pada Efek Perilaku Bertanya. Perubahan menyenangkan yang akan mengubah hidup Anda dan orang lain akan dimulai.
“Saya sedang memperhatikan Anda.”
Tatapan Mata Lebih Kuat daripada Ucapan Memerintah Hawthorne Effect
“Tolong selesaikan proposal ini hari ini”
“Ingat target yang ingin kita capai.”
“Pastikan para karyawan mematuhi peraturan baru ini”
Karena sering mengajar di perusahaan, saya kerap kali mendengar instruksi seorang pimpinan atau manajemen perusahaan. Berbekal beberapa pengalaman yang serupa, saya bisa menebak posisi orang tersebut hanya dari caranya memberi perintah. Instruksi diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan kerja dan memperoleh hasil yang diinginkan. Namun terkadang, saya khawatir hal itu menjadi pengagungan terhadap perintah.
Jika atasan rajin memberi perintah, hal itu akan dipercaya berkaitan langsung dengan pencapaian. Anehnya, semakin besar ambisi terhadap pekerjaan, maka nada perintahnya semakin memaksa dan berubah menjadi tidak formal. Banyak yang percaya bahwa tekanan dan tuntutan akan membawa hasil yang lebih baik, tetapi ini adalah anggapan yang sangat keliru.
Saya sering memberi nasihat seperti ini kepada pimpinan dan manajemen perusahaan.
“Dengan adanya struktur hierarki organisasi, instruksi memang tidak bisa dihindari dalam pelaksanaan tugas. Namun, instruksi bukan merupakan kunci untuk segalanya. Terutama instruksi yang mengandung tekanan dan perintah dapat menjadi kontraproduktif, seperti menjatuhkan semangat juang karyawan dan membuat mereka pasif. Ada metode lain yang lebih baik daripada instruksi sepihak. Yakni mengawasi dengan penuh minat. Ini saja dapat meningkatkan efektivitas kerja secara signifikan.”
Kita akan memperbaiki perilaku atau meningkatkan efisiensi kerja saat mengetahui bahwa ada yang sedang mengamati kita. Ini dikenal sebagai “Efek Hawthorne”. Efek ini terungkap berkat studi yang dilakukan oleh staf peneliti dari Harvard University, Elton Mayo yang bekerja bersama dengan Western Electric Company selama 2,5 tahun dari tahun 1924 hingga tahun 1927. Subjek utama dari penelitian ini adalah mengetahui lingkungan kerja yang dapat meningkatkan efisiensi kerja.
Pertama, suasana kantor yang terang. Diperkirakan bahwa hal ini akan meningkatkan semangat karyawan sehingga produktivitas meningkat, dan hasil percobaan di lapangan membuktikan efektivitasnya. Namun, ada sesuatu yang di luar dugaan. Sang peneliti berkata seperti ini setelah percobaan,
“Kembalikan lingkungan kerja pabrik seperti semula.”
Bagian dalam pabrik menjadi gelap lagi. Mengapa ia meminta untuk dikembalikan, padahal ini akan membuat produktivitas turun seperti sebelumnya? Berbeda dengan kekhawatiran itu, produktivitas karyawan malah lebih tinggi daripada sebelumnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dengan rasa penasaran, ia melakukan wawancara terhadap para karyawan.
“Kami tahu bahwa seorang profesor dari universitas terkenal sedang melakukan penelitian di pabrik ini. Jadi, kami bekerja lebih keras daripada sebelumnya karena merasa sedang diawasi.”
Jawaban yang mengejutkan. Pemecahan masalah ternyata ada di tempat yang tidak terduga. Melalui eksperimen dan wawancara ini, peneliti menemukan bahwa pengawasan dengan penuh minat saja dapat meningkatkan produktivitas.
Prinsip ini bisa dimanfaatkan dengan sangat berguna. Alih- alih memerintah dan merongrong karyawan agar memberikan hasil, Anda bisa memilih untuk mengawasi mereka. Jika Anda seorang pemilik bisnis, Anda bisa berkata seperti ini.
“Senang melihat kalian bekerja keras. Saya akan terus mengawasi.”
Daripada memaksa anak dengan nada memerintah, orang-tua yang memiliki anak yang suka melakukan hal lain di jam pelajaran bisa berkata seperti ini.
“Ibu selalu memperhatikanmu belajar.”
Orang-orang akan sangat terpengaruh apabila ada seseorang yang memperhatikannya, entah itu berupa pengawasan atau ketertarikan. Anda memiliki wewenang untuk menggunakannya secara tepat dan penuh manfaat di bidang Anda.
“Tingkat kesuksesanmu akan menjadi 200% jika kusebut namamu.”
Semakin Besar Organisasi, Semakin Rendah Kinerjanya Ringelmann Effect
Saya tipikal orang yang suka memberi tugas presentasi kelompok kepada mahasiswa. Perihal anggota kelompok, saya serahkan sepenuhnya kepada mereka. Biasanya satu kelompok terdiri dari tiga atau empat orang, tetapi kadang-kadang ada juga kelompok yang terdiri dari enam atau tujuh orang. Sekilas, semakin banyak anggota kelompok maka hasilnya diperkirakan akan semakin baik. Bagaimana realitasnya? Apakah akan lebih menguntungkan jika ada banyak orang?
Kenyataannya sama sekali tidak demikian. Secara umum, tim yang hanya diisi oleh orang-orang yang diperlukan akan memberikan hasil yang baik, sedangkan tim yang dipenuhi banyak orang malah memberikan hasil yang buruk. Semakin banyak orang yang bersama-sama, semakin banyak waktu yang terbuang untuk meredakan ketegangan atau membahas hal-hal lain. Masalah ini tidak hanya berlaku bagi mahasiswa.
Mengetahui hal ini, saya berkata seperti ini setelah membentuk tim yang hanya terdiri atas segelintir orang yang diperlukan ketika diminta untuk presentasi oleh perusahaan.
“Saya membentuk tim kecil bukan agar biayanya rendah. Berdasarkan pengalaman saya, setiap orang dapat mengeluarkan potensi terbaiknya ketika tim yang dibentuk hanya terdiri dari orang-orang yang diperlukan. Saya harap semua orang akan melakukan yang terbaik dengan kesadaran bahwa ini adalah pekerjaan kita semua.”
Fenomena ini terjadi akibat “Efek Ringelmann”. Kontribusi perorangberbandingterbalikdenganjumlah anggota kelompok, yang sering dikaitkan dengan kelalaian sosial.
Insinyur ahli pertanian Prancis, Ringelmann, mengumpulkan orang untuk melakukan tarik tambang untuk mengukur kekuatan tarikan. Pertama-tama, hanya satu orang yang menarik tambang, dan pada saat itu ia mengerahkan 100% kekuatannya. Berikutnya, tiga orang melakukan tarik tambang dan kekuatan masing-masing adalah 85%. Pada saat 8 orang yang menarik tambang, kekuatan per individu menjadi 64%. Berdasarkan hasil percobaan, ia berkata,
“Ketika seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok, ia tidak menggunakan kemampuannya sepenuhnya. Kecenderungan tersebut semakin kuat terutama bila anggota kelompok semakin banyak.”
Hukum Parkinson membantu dalam menjelaskan hal ini. Menurut Hukum Parkinson, peningkatan beban kerja tidak berkaitan dengan peningkatan jumlah pegawai, dan jumlah tenaga kerja terus meningkat tanpa ada hubungannya dengan jumlah pekerjaan. Ini berarti kita lebih membutuhkan pekerjaan karena banyaknya orang dibandingkan kita membutuhkan pegawai karena banyaknya pekerjaan.
Kita mengira bahwa jika jumlah anggota organisasi besar, kinerja organisasi juga akan meningkat karena setiap individu memberikan hasil yang tinggi. Namun, kenyataannya tidak demikian. Alasannya adalah setiap individu bersembunyi di balik keseluruhan. Ketika jumlah anggota bertambah, sulit untuk melihat mana yang bekerja keras dan yang tidak. Akibatnya, banyak individu yang tidak mengerahkan kemampuan terbaiknya.
Sebuah kelompok besar yang tidak kompak, atau menurunnya kapasitas kerja individu merupakan akibat alasan ini. Terutama seseorang yang berada dalam suatu organisasi yang ramai akan lebih sering membahas hal lain atau lalai di jam kerja.
“Jasmu keren, merek apa? Aku mau pakai juga, ah.” “Gimana kopi darat kemarin? Aku penasaran, nih.” Semakin luas skala pekerjaan dan semakin tinggi tingkat kesulitan target, mau tidak mau jumlah anggota organisasi akan semakin banyak. Jika itu tidak terhindarkan, bagaimana cara memanfaatkan kemampuan setiap individu sebaik-baiknya?
Sederhana. Memanggil nama setiap anggota. Sering-sering menyebut nama anggota organisasi akan membuat mereka merasa mandiri dan memiliki. Semakin banyak orang maka semakin tenggelam seorang individu di dalam organisasi dan muncul keinginan untuk menumpang secara diam-diam di atas pencapaian organisasi. Oleh karena itu, setiap individu di dalam organisasi perlu diakui sebagai satu entitas dengan cara menyebutkan namanya. Para anggota akan menyadari diri mereka sebagai “aku”, bukan satu dari sekian banyak, dan akan dilengkapi dengan rasa tanggung jawab.
Pimpinan organisasi seperti eksekutif, manajemen, dan pemimpin tim harus mengingat nama setiap anggotanya. Saat didekati dan namanya dipanggil, dia akan bangkit sebagai seorang individu dengan tugas dan tanggung jawabnya sendiri. Sama seperti saat melakukan pekerjaan sendirian, ia akan mengerahkan 100% kemampuannya.
Menyebut nama dan mengakui keberadaannya tidak hanya akan membantu memulihkan hubungan antar perorangan. Hal ini juga akan menyokong seorang individu di dalam kelompok untuk memiliki harga diri untuk mendapatkan hasil.
“Tidak ada egoisme antar-bagian di perusahaan ini karena….”
Menghapus Konflik dan Meningkatkan Persatuan Dengan Satu Kata The Robbers Cave Experiment
“Karyawan bersaing secara berlebihan sehingga produktivitas menurun.”
“Keegoisan tim diperparah oleh perselisihan kinerja antar-tim.”
“Para pemain inti bersaing terlalu ketat sehingga mereka tidak bersatu.”
Persaingan yang cukup untuk menghasilkan sinergi adalah hal yang baik. Namun, masalahnya menjadi serius bila kompetisi terlalu panas hingga merusak kerja sama tim. Kerap kali, orang-orang bersaing bukan dengan itikad baik dan melakukan yang terbaik di bagiannya. Setiap anggota organisasi memiliki kapasitas terbaiknya, tetapi justru saling sikut bila bersaing untuk mendapatkan pencapaian di dalamnya, yang pada akhirnya kerap merugikan organisasi.
Siapa yang enggan untuk menonjol di dalam organisasi? Hanya sedikit orang yang nyaman melihat rekan kerjanya meraih pencapaian yang lebih besar dari dirinya atau dipromosikan lebih cepat. Terlebih ketika mereka merasa semakin gagal karena orang lain memperoleh hasil yang sangat gemilang.
Kondisi inilah yang menyebabkan sulitnya menyatukan orang-orang yang berbakat untuk saling bekerja sama. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait di perusahaan atau olahraga sering menanyakan rahasia tentang komunikasi organisasi yang baik untuk membentuk persatuan. Berikut ini adalah jawaban yang selalu saya berikan untuk situasi seperti ini,
“Di setiap organisasi, orang-orang berbakat akan selalu bersaing baik dengan maksud baik maupun buruk. Ini adalah fenomena yang lumrah. Para pemimpin harus mampu mengarahkan agar gairah dan energi mereka tidak terbuang sia-sia akibat konflik. Perlu dibentuk sebuah tujuan bersama.”
Konflik akan berkurang dalam kelompok yang heterogen sekalipun, jika mereka memiliki tujuan bersama, seperti yang diilustrasikan oleh “Eksperimen Gua Robbers (Robbers Cave Experiment)”.
Pada tahun 1954, Muzafer Sherif, psikolog sosial Amerika mengumpulkan 24 anak laki-laki berusia dua belas tahun di sebuah lokasi perkemahan musim panas di dekat Gua Robbers. Mereka dibagi menjadi dua kelompok; kelompok satu bernama Ular Derik (The Rattlers) dan yang lainnya bernama Elang (The Eagles). Seminggu kemudian, dia memerintahkan kedua kelompok tersebut untuk memainkan permainan menang dan kalah.
“Sekarang, kita akan bermain tarik tambang dan mendirikan tenda. Lakukan yang terbaik karena tim yang menang akan mendapatkan hadiah.”
Muncul konflik di antara anak-anak, yang dengan cepat berubah menjadi perkelahian. Untuk mengatasi ini, mereka pergi makan dan menonton film bersama, tetapi tidak berhasil. Sang Sheriff kemudian memberikan instruksi baru kepada para stafnya.
“Buatlah program kerja sama untuk anak-anak.”
Lalu dibuatlah tugas yang mengharuskan anak-anak menyatukan kekuatan. Memperbaiki pipa air, mengumpulkan uang untuk sewa video, dan menarik truk pengantar bahan makanan yang terperosok ke dalam lumpur. Beberapa hari kemudian, konflik di antara anak-anak menghilang sepenuhnya. Mereka bekerja sama dengan baik seperti sebuah tim, sampai lupa bahwa mereka terbagi ke dalam kelompok yang berbeda. Eksperimen ini membuktikan bahwa tujuan yang sama dapat mengurangi konflik antarkelompok dan membuat mereka bekerja sama.
Efek dari Eksperimen Gua Robbers juga dapat digunakan di dalam perusahaan. Katakanlah Anda adalah direktur agensi periklanan. Para pemimpin sering memakai cara ini untuk mengatasi situasi internal yang memanas akibat kompetisi antar- departemen.
“Benar-benar egois. Sibuk bertarung, tetapi lupa bahwa hidup mereka akan baik jika perusahaan berjalan dengan baik, menyedihkan…”
Ini bukan soal menyalahkan karyawan. Mengapa Anda membutuhkan seorang pemimpin?Tugas pemimpin adalah mengatur dan mengendalikan situasi seperti ini. Lupakan soal kampanye bahwa perusahaan itu seperti keluarga dan sebagainya. Membujuk mereka agar segera berdamai dan bersatu juga tidak mungkin. Memberi mereka insentif dan menciptakan lingkungan yang lebih baik juga tidak akan mengisi lubang emosi mereka.
Namun ketika direktur memberikan tujuan yang sama untuk semua karyawan, persatuan akan meningkat dengan pesat.
“Saat ini nasib perusahaan sedang di ujung tanduk. Jika perusahaan dipertaruhkan, kita semua juga dipertaruhkan. Sekarang saatnya semua bergerak bersama menuju satu tujuan. Mari kita bekerja sama untuk menemukan cara menghadapi krisis ini.”
Jika Anda seorang pelatih sepak bola, apa yang akan Anda katakan untuk menghilangkan persaingan yang sia-sia antar- para pemain utama? Kalau saya akan berkata seperti ini:
“Selama musim dingin tidak ada pertandingan, jadi saya mau ada dua orang pemain bersama-sama mengelola situs klub penggemar tim sepak bola kita. Sepertinya jumlah member yang mengakses situs kita terus menurun. Saya harap kedua orang tersebut bisa menyatukan kepala untuk memikirkan bagaimana cara meningkatkan jumlah member yang mengakses situs dalam dua bulan.”
Metode ini tidak hanya berlaku untuk perusahaan dan organisasi biasa. “Tujuan bersama” ini juga bisa digunakan untuk kakak-beradik dengan jarak usia yang tidak terlalu jauh yang bertengkar hebat.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke luar negeri selama liburan musim panas setelah kalian menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik. Selama seminggu, Ayah akan nilai seberapa baik kalian bekerja sama, jadi bersiap-siaplah.”
Hanya ada satu hal yang perlu diperhatikan. Anda tidak dapat mengeluarkan kartu yang sama pada setiap pertarungan. Tentu saja efeknya akan berkurang setengah. Setelah memberikan tujuan bersama, Anda juga sebaiknya menghindari tindakan bodoh melihat pencapaian masing-masing individu saat mengevaluasi hasilnya dengan berkata, “Siapa yang lebih rajin?” atau “Siapa yang mengerjakan bagian ini?” Saya harap Anda memiliki kebijaksanaan untuk mengetahui kapan harus mengeluarkan kartu ini dan tugas seperti apa yang harus diberikan agar kerja sama dapat terwujud.